Legal Review dalam Kontrak Pengadaan: Perlu atau Tidak?

I. Pendahuluan

Dalam setiap aktivitas pengadaan barang dan jasa, kontrak merupakan instrumen hukum yang sangat penting. Ia bukan hanya dokumen administratif, tetapi menjadi dasar hubungan hukum antara para pihak yang terlibat-baik itu pemerintah, swasta, maupun vendor penyedia. Namun, satu hal yang sering dipertanyakan dalam proses pengadaan adalah: apakah legal review terhadap kontrak betul-betul diperlukan?

Pertanyaan ini mencuat karena dua hal. Pertama, legal review sering dianggap memperlambat proses pengadaan. Kedua, banyak pelaksana pengadaan merasa cukup dengan menggunakan format standar atau template kontrak yang sudah tersedia. Padahal, konteks dan risiko dalam setiap proyek bisa berbeda, sehingga satu pasal yang tidak relevan atau rancu bisa menimbulkan sengketa besar di kemudian hari.

Artikel ini membahas mengapa legal review penting, kapan ia menjadi keharusan, dan bagaimana pelaksanaannya dapat dilakukan tanpa menghambat kelancaran proyek.

II. Apa Itu Legal Review dalam Kontrak Pengadaan?

Legal review dalam konteks pengadaan adalah proses telaah sistematis terhadap dokumen kontrak oleh pihak yang memiliki keahlian hukum, baik dari tim hukum internal organisasi maupun konsultan eksternal. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa seluruh aspek kontrak:

  • Memenuhi kaidah hukum yang berlaku, baik peraturan nasional (seperti KUHPer, Perpres 16/2018 untuk pengadaan pemerintah, maupun peraturan sektoral) maupun ketentuan internal organisasi.
  • Melindungi posisi hukum organisasi, yaitu memastikan hak dan kewajiban masing-masing pihak terformulasi secara proporsional dan adil.
  • Menghindari celah yang dapat menimbulkan sengketa, dengan merumuskan klausul-klausul secara rinci, eksplisit, dan tidak membuka ruang tafsir ganda.
  • Menyusun mekanisme penyelesaian konflik secara preventif dan reaktif, seperti melalui tahapan mediasi, arbitrase, atau pilihan hukum (choice of law).
  • Memastikan eksekutabilitas: Semua klausul harus dapat dilaksanakan di lapangan sesuai sistem hukum tempat kontrak diberlakukan.

Selain dokumen kontrak utama, legal review juga mencakup peninjauan terhadap dokumen-dokumen pendukung, seperti:

  • Terms of Reference (TOR) atau Kerangka Acuan Kerja.
  • Harga Perkiraan Sendiri (HPS).
  • Jadwal pelaksanaan dan spesifikasi teknis.
  • Jaminan pelaksanaan atau jaminan pemeliharaan.
  • Addendum atau surat pernyataan pihak ketiga.

Konsistensi antardokumen ini sangat penting. Sering terjadi, isi kontrak menyebut satu hal, tetapi TOR atau jadwal menyebut hal berbeda-dan celah semacam ini dapat dimanfaatkan dalam sengketa hukum.

Contoh Kasus: Sebuah kontrak menyebut penyelesaian proyek selama 180 hari kalender, tetapi jadwal pelaksanaan (lampiran) menyebut 150 hari. Karena tidak dilakukan legal review, ketidaksesuaian ini menimbulkan konflik saat terjadi keterlambatan pelaksanaan.

III. Kapan Legal Review Diperlukan?

Tidak semua kontrak harus melalui legal review tingkat lanjut. Namun, terdapat kategori kontrak tertentu yang sangat direkomendasikan untuk dilakukan penelaahan hukum, karena menyimpan risiko yang tinggi atau kompleksitas hukum yang mendalam.

1. Kontrak Bernilai Besar

Kontrak dengan nilai tinggi membawa konsekuensi finansial besar dan potensi kerugian signifikan apabila terjadi pelanggaran. Dalam pengadaan pemerintah, ambang batas ini biasanya Rp1 miliar ke atas. Di sektor swasta, ambangnya tergantung pada skala perusahaan dan kebijakan internal.

Risiko: Salah redaksi atau ketidaktegasan dalam klausul denda atau force majeure dapat mengakibatkan organisasi gagal memperoleh ganti rugi atas kerugian besar.

2. Kontrak Jangka Panjang (Multi-Tahun)

Proyek dengan durasi lebih dari satu tahun sangat rentan terhadap perubahan kondisi. Misalnya:

  • Perubahan kebijakan fiskal (contoh: kenaikan PPN).
  • Fluktuasi harga bahan baku, seperti baja, semen, atau BBM.
  • Resesi atau inflasi tinggi yang memengaruhi struktur biaya.

Legal review penting untuk memastikan ada klausul penyesuaian harga (price adjustment), penjadwalan ulang, atau terminasi sukarela yang bisa digunakan tanpa mengarah ke gugatan.

3. Kontrak Kompleks dan Multinasional

Kontrak pengadaan barang/jasa teknologi, infrastruktur dengan pendanaan luar negeri, atau proyek joint venture sering memuat banyak ketentuan lintas yurisdiksi, bahasa hukum asing, serta standar teknis internasional.

Legal review pada kontrak seperti ini mencakup hal-hal seperti:

  • Pilihan hukum (choice of law) dan forum penyelesaian sengketa (pengadilan, arbitrase internasional).
  • Ketentuan lintas negara (ekspor-impor, bea masuk, perizinan).
  • Klausul kerahasiaan dan perlindungan data sesuai GDPR atau regulasi lokal.

4. Kontrak yang Diubah atau Direvisi

Kontrak yang dilakukan addendum harus ditinjau ulang untuk memastikan:

  • Perubahan tersebut tidak menimbulkan pertentangan dengan klausul lama.
  • Terdapat catatan hukum yang menyertai perubahan, agar dapat dipertanggungjawabkan secara audit.
  • Tidak melanggar ketentuan pelimpahan wewenang dan batas kewenangan (misalnya, PPK tidak berwenang mengubah nilai kontrak lebih dari 10%).

Contoh: Banyak kasus di mana addendum dilakukan untuk memperpanjang waktu, tetapi tidak disertai dengan dasar hukum force majeure atau alasan sah lain, sehingga audit BPK menilai itu pelanggaran kontrak.

IV. Risiko Jika Tanpa Legal Review

Mengabaikan legal review bukan hanya membuka peluang terjadinya pelanggaran hukum, tapi juga dapat menimbulkan kerugian finansial dan reputasi. Beberapa risiko nyata yang sering terjadi adalah:

1. Ketidakseimbangan Hak dan Kewajiban

Kontrak yang tidak ditelaah hukum dapat memuat pasal-pasal berat sebelah, terutama jika draf berasal dari pihak vendor atau kontraktor besar. Misalnya:

  • Denda keterlambatan hanya dibebankan ke pembeli, bukan ke vendor.
  • Vendor bebas mengubah jenis barang tanpa persetujuan tertulis.
  • Tidak ada kompensasi atas keterlambatan vendor.

Ketidakseimbangan ini berisiko besar apabila terjadi perselisihan-dan bisa melemahkan posisi hukum organisasi.

2. Potensi Sengketa Hukum

Klausul yang tidak jelas atau multitafsir mudah menimbulkan perdebatan di lapangan. Contoh:

  • Pasal menyebut “pekerjaan selesai sesuai standar yang berlaku,” tetapi tidak menyebut standar mana yang dimaksud (SNI, ISO, ASTM?).
  • Tidak ada batas waktu pembayaran-menyebabkan vendor menagih kapan pun.

Tanpa legal review, hal-hal seperti ini sering luput dan akhirnya menjadi bahan gugatan.

3. Ketidaksesuaian dengan Regulasi

Beberapa kontrak menjadi tidak sah secara hukum karena tidak selaras dengan peraturan pemerintah atau sektoral. Misalnya:

  • Tidak adanya pasal mengenai pajak dan pemotongan PPh sesuai ketentuan Peraturan Menteri Keuangan.
  • Dalam pengadaan pemerintah, tidak memuat klausul pengadaan ramah lingkungan atau tidak mengacu ke Perpres 12/2021.

Hal ini bisa menyebabkan:

  • Penolakan dari pihak auditor.
  • Tidak dapat dicairkannya anggaran.
  • Tuntutan hukum dari pihak lain.

4. Potensi Kerugian Keuangan

Tanpa legal review, organisasi bisa mengalami:

  • Biaya tambahan akibat overpayment, karena kontrak tidak mencantumkan justifikasi harga.
  • Kehilangan hak klaim ganti rugi, karena tidak adanya pasal indemnity atau tidak ada pengaturan jaminan pemeliharaan.
  • Kewajiban membayar meski barang belum diterima, karena termin pembayaran diatur terlalu dini tanpa tahapan verifikasi.

V. Manfaat Legal Review Kontrak Pengadaan

Legal review bukan sekadar formalitas administratif. Dalam praktik pengadaan, legal review menjadi perisai strategis yang melindungi organisasi dari jebakan kontraktual yang merugikan, sekaligus memperkuat tata kelola yang baik (good governance). Berikut manfaat yang lebih komprehensif:

1. Perlindungan Hukum yang Proaktif

Legal review membantu mengidentifikasi celah hukum dalam kontrak sebelum menjadi sengketa. Misalnya, klausul yang ambigu tentang pelaksanaan pekerjaan bisa diperjelas sejak awal agar tidak memunculkan multitafsir.

Selain itu, legal review melindungi organisasi dari risiko tuntutan hukum, penalti, hingga blacklist karena kontrak tidak sesuai aturan atau tidak fair terhadap salah satu pihak.

2. Kepatuhan Regulasi dan Audit Kinerja

Dalam konteks sektor publik, legal review memastikan kontrak mematuhi Perpres 16/2018 (beserta perubahannya melalui Perpres 12/2021), aturan LKPP, dan peraturan sektoral lain. Di sektor swasta, ia menjadi alat audit internal penting untuk memastikan kepatuhan terhadap UU Cipta Kerja, UU Perdagangan, hingga peraturan industri spesifik seperti OJK untuk industri keuangan.

Kontrak yang tidak sesuai regulasi berisiko dibatalkan atau berujung sanksi dalam audit eksternal.

3. Mitigasi Risiko Proyek Secara Terstruktur

Legal review memetakan berbagai risiko proyek dan memberikan perlindungan lewat klausul:

  • Indemnity Clause: Mengalihkan risiko kerugian akibat kesalahan pihak ketiga.
  • Insurance Requirement: Mewajibkan asuransi untuk pekerjaan berisiko tinggi.
  • Limitation of Liability: Membatasi tanggung jawab hingga nilai kontrak atau kerugian nyata.

Dengan demikian, legal review tidak hanya bersifat reaktif, tetapi preventif dan strategis.

4. Peningkatan Akuntabilitas dan Transparansi

Kontrak yang hasil legal review memiliki struktur yang jelas tentang:

  • Siapa berbuat apa
  • Kapan dan bagaimana dilaksanakan
  • Sanksi atas penyimpangan

Ini penting bagi auditor, pengawas internal, dan pihak eksternal seperti BPK atau Inspektorat, yang membutuhkan dokumen legal yang bisa dipertanggungjawabkan.

VI. Komponen Penting dalam Legal Review

1. Legalitas Subjek dan Objek Kontrak

Tim legal akan memverifikasi:

  • Apakah para pihak berbadan hukum resmi?
  • Apakah wakil yang menandatangani punya kuasa legal?
  • Apakah objek kontrak bukan barang/jasa terlarang atau tidak sesuai dengan tugas pokok organisasi?

Contoh: Dalam proyek konstruksi, perusahaan pemenang tender harus memiliki izin usaha jasa konstruksi (IUJK) yang masih berlaku.

2. Klausul Kritis: Penentu Arah dan Keselamatan Kontrak

Legal review secara cermat mengkaji klausul berikut:

  • Jangka waktu & termin pembayaran: Apakah realistis dan sesuai cash flow organisasi?
  • Sanksi & denda: Apakah adil dan proporsional terhadap nilai proyek?
  • Force majeure: Apakah definisi dan dampaknya jelas?
  • Pemutusan kontrak: Kapan kontrak dapat dihentikan secara sah?
  • Penyelesaian sengketa: Apakah akan menggunakan pengadilan, arbitrase, atau mediasi?
  • Change order: Apakah prosedur perubahan volume/scope pekerjaan diatur?

Klausul-klausul ini menjadi garis pertahanan pertama saat terjadi ketidaksesuaian pelaksanaan di lapangan.

3. Kepatuhan terhadap Format dan Template Standar

Di lingkungan pemerintahan atau BUMN, ada format baku yang harus diikuti-baik dari LKPP, internal kementerian/lembaga, maupun lembaga donor (ADB, World Bank).

Legal review memastikan kontrak tidak menyimpang dari struktur dan terminologi standar yang sudah ditentukan.

4. Sinkronisasi dengan Dokumen Teknis dan Keuangan

Kontrak tidak berdiri sendiri. Ia harus selaras dengan:

  • TOR (Term of Reference): Rincian teknis pekerjaan
  • HPS (Harga Perkiraan Sendiri): Dasar perhitungan anggaran
  • Jadwal kerja: Time schedule pelaksanaan
  • Spesifikasi teknis dan syarat umum/khusus kontrak (SUK/SKK)

Legal review meninjau konsistensi antar dokumen agar tidak ada kontradiksi.

VII. Proses Legal Review: Langkah demi Langkah

Proses legal review idealnya bersifat kolaboratif, bukan sekadar legal menilai dari kejauhan. Berikut detail langkahnya:

1. Pengumpulan Dokumen Terkait

Dokumen dikumpulkan oleh tim pengadaan atau kontrak:

  • Draft kontrak (belum final)
  • TOR & spesifikasi teknis
  • Jadwal pelaksanaan
  • HPS dan RAB (jika relevan)
  • Dokumen pelelangan (jika berasal dari tender)

2. Telaah Awal oleh Tim Hukum

Tim legal melakukan telaah awal untuk mengidentifikasi:

  • Ketidaksesuaian dengan hukum positif
  • Klausul yang berpotensi merugikan
  • Klausul yang perlu dilengkapi (misalnya, dispute resolution)

Jika ditemukan pelanggaran prinsip keadilan kontraktual, tim legal memberi catatan khusus.

3. Koordinasi Teknis Lintas Tim

Tim legal berinteraksi dengan:

  • Tim teknis: Untuk memahami pekerjaan/proyek
  • Tim pengadaan: Untuk memahami proses tender
  • Tim keuangan: Untuk memastikan termin pembayaran sesuai cashflow

Koordinasi ini memperkuat keakuratan konteks dan membuat review lebih realistis.

4. Revisi dan Penyempurnaan Dokumen

Masukan legal dituangkan oleh penyusun kontrak dalam bentuk revisi. Kemudian dilakukan review ulang untuk memastikan masukan tidak mengubah substansi teknis secara keliru.

Revisi juga menyangkut redaksional bahasa hukum agar kontrak mudah dibaca dan tidak menimbulkan multitafsir.

5. Persetujuan Final

Setelah review final selesai, kontrak diserahkan kepada pejabat yang berwenang (Direktur, PPK, Kuasa Pengguna Anggaran) untuk mendapatkan persetujuan dan ditandatangani. Pada tahap ini, kontrak sudah “bersih hukum”.

VIII. Studi Kasus: Sengketa Kontrak karena Tanpa Legal Review

Kasus A: Denda Keterlambatan yang Tidak Valid

Kronologi:

  • Instansi pemerintah menandatangani kontrak pembangunan tanpa batas atas denda keterlambatan (1% per hari).
  • Pekerjaan terlambat 3 bulan karena faktor cuaca dan supply material.
  • Total denda melebihi 100% nilai kontrak, dan kontraktor menolak membayar.

Hasil:

  • Sengketa disidangkan.
  • Hakim menyatakan klausul tidak proporsional dan membatalkan denda.
  • Negara kehilangan hak penalti dan proyek tertunda.

Analisis:

Jika legal review dilakukan, klausul akan diuji proporsionalitasnya dan diberi batas (misalnya, maksimal 5% dari nilai kontrak), sesuai prinsip hukum perdata.

Kasus B: Tidak Adanya Klausul Force Majeure

Kronologi:

  • Perusahaan manufaktur menandatangani kontrak pengadaan bahan baku dari luar daerah.
  • Terjadi banjir besar sehingga pemasok gagal kirim tepat waktu.
  • Kontrak tidak mencantumkan force majeure.

Hasil:

  • Pemasok digugat karena wanprestasi.
  • Namun, karena kontrak tidak memberi perlindungan forc

IX. Apakah Legal Review Menghambat Proses?

Banyak pelaksana pengadaan merasa bahwa legal review memperlambat proses, terutama saat tenggat waktu mepet atau kebutuhan mendesak. Anggapan ini muncul karena keterbatasan sumber daya hukum, komunikasi yang kurang efisien, dan belum adanya sistem yang mendukung integrasi kerja lintas tim.

Namun, kenyataannya, legal review justru mempercepat proses jangka panjang dengan mencegah revisi berulang, konflik di tengah pelaksanaan, atau bahkan sengketa hukum di kemudian hari.

Ilustrasi:

Lebih baik “menghabiskan” 2 hari untuk legal review di awal, daripada 2 bulan terjebak dalam proses mediasi atau gugatan setelah proyek berjalan.

Solusi Strategis agar Legal Review Tidak Menghambat:

  1. Standardisasi Klausul Umum dan Template Kontrak
    • Gunakan template standar dari LKPP, internal kementerian/BUMN, atau hasil review sebelumnya.
    • Klausul seperti denda, force majeure, termin pembayaran, dispute resolution bisa diformat menjadi boilerplate yang hanya perlu dikustomisasi sebagian kecil saja.
  2. Penerapan Legal Checklist
    • Checklist hukum membantu tim non-hukum untuk menyiapkan kontrak lebih siap sebelum dikirim ke bagian legal.
    • Misalnya: Apakah para pihak legal? Apakah sudah sesuai HPS? Apakah jadwal realistis?
  3. Parallel Review (Review Paralel)
    • Legal review dilakukan bersamaan dengan proses finalisasi teknis dan administrasi-bukan setelah semuanya rampung.
    • Dengan begitu, waktu tunggu bisa dipangkas, dan tim bisa saling menyempurnakan dokumen secara simultan.
  4. Legal Team On-Demand atau Piket Review
    • Siapkan tim hukum yang standby untuk mendampingi proyek-proyek prioritas atau bernilai besar.
    • Untuk instansi kecil, bisa dibuat sistem rotasi piket atau kerja sama dengan biro hukum daerah/pusat.
  5. Penggunaan Aplikasi Kolaboratif
    • Gunakan platform berbasis cloud (misal: Google Docs, SharePoint, atau aplikasi kontrak e-procurement) agar proses revisi dapat dilakukan real time dan transparan antar tim.

Dengan pendekatan ini, legal review bukan hambatan, tetapi bagian integral dari proses yang efisien dan akuntabel.

X. Kapan Legal Review Bisa Ditiadakan?

Legal review tidak selalu harus dilakukan secara menyeluruh dan mendalam pada setiap kontrak. Pengadaan dengan risiko rendah, nilai kecil, dan format yang sudah distandardisasi dapat diproses dengan metode quick legal check atau pengecekan terbatas.

Beberapa Situasi Dimana Legal Review Bisa Diringankan:

  1. Pengadaan Bernilai Kecil dan Rutin

    Contoh: ATK, konsumsi rapat, atau jasa maintenance ringan.

    • Risiko rendah
    • Vendor berulang
    • Objek dan metode pengadaan sudah dikenal
  2. Pengadaan Melalui E-Katalog LKPP
    • Sistem e-katalog sudah memiliki syarat dan ketentuan standar (S&K).
    • Kontrak bersifat otomatis, dengan dokumen pemesanan yang telah diatur sistem.
  3. Kontrak Menggunakan Template Resmi Tanpa Modifikasi
    • Misalnya template LKPP, World Bank, atau kontrak tipikal BUMN yang telah dibakukan dan sebelumnya sudah melalui proses legal review menyeluruh.
  4. Pekerjaan dengan Jangka Waktu Sangat Pendek
    • Untuk pekerjaan/layanan dengan durasi ≤7 hari dan tidak berdampak hukum jangka panjang, legal review bisa dipersingkat.

Namun, Perlu Ditekankan:

“Ditiadakan” tidak berarti “diabaikan”.

Bahkan dalam pengadaan bernilai kecil, tetap disarankan adanya minimal legal paraf/checklist dari bagian hukum untuk:

  • Menjaga dokumentasi
  • Mencegah kesalahan elementer (misal: tidak ada tanda tangan pihak)
  • Menjadi bukti kepatuhan prosedural dalam audit

Legal review bisa bersifat proporsional dan adaptif, sesuai risiko dan kompleksitas kontrak-bukan satu format untuk semua.

XI. Kesimpulan

Legal review bukanlah birokrasi tambahan, tetapi alat proteksi dan manajemen risiko dalam pengadaan. Dengan kontrak sebagai tulang punggung kerja sama, setiap kekeliruan redaksional atau ketidaktepatan klausul bisa berdampak panjang-baik secara finansial maupun reputasi.

Di tengah dinamika regulasi, kompleksitas proyek, dan tuntutan efisiensi, legal review yang dirancang dengan pendekatan kolaboratif dan adaptif adalah kunci menjaga kelangsungan dan integritas pengadaan.