Pendahuluan
Banyak organisasi publik dan swasta memiliki dua dokumen yang tampak mirip tujuannya: satu laporan kinerja (LAKIP) dan satu set dokumen pengadaan (RKS, TOR, kontrak, serta catatannya di sistem seperti SPSE). Keduanya penting – LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) menunjukkan apa yang sudah dicapai instansi selama setahun, sementara dokumen pengadaan merekam bagaimana barang atau jasa dibeli dan proyek dilaksanakan. Masalah muncul ketika keduanya tidak “nyambung”: target yang tertulis di LAKIP tidak tercermin di spesifikasi pengadaan; program yang diiklankan di APBD tidak dilanjutkan karena dokumen pengadaan tidak mendukung; atau sebaliknya-pengadaan dilaksanakan tetapi hasilnya tidak terukur di LAKIP. Dampaknya bukan sekadar administrasi yang berantakan; ini berpengaruh pada penggunaan anggaran, akuntabilitas kepada publik, serta mutu layanan.
Dalam kehidupan sehari-hari instansi, ketidaksambungan itu muncul dalam banyak wujud: target serapan anggaran tercapai secara kuantitas, tapi tidak memberi hasil nyata; pekerjaan infrastruktur selesai sesuai kontrak tetapi tidak mendukung indikator kinerja yang diharapkan; atau laporan akhir proyek tidak pernah masuk ke LAKIP karena beda format dan fokus. Artikel ini bertujuan menjelaskan akar masalahnya secara sederhana, menunjukkan dampak praktisnya, dan menawarkan langkah-langkah konkret yang bisa langsung diterapkan supaya LAKIP dan dokumen pengadaan berbicara sama – bukan dua bahasa yang berbeda. Penjelasan dibuat sedetail mungkin namun tanpa istilah teknis rumit, sehingga staf pengadaan, pejabat fungsional, hingga masyarakat yang ingin mengawasi anggaran bisa membaca dan bertindak.
Apa itu LAKIP? Penjelasan Sederhana tapi Lengkap
LAKIP adalah singkatan dari Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Dalam bahasa paling sederhana: LAKIP adalah dokumen tahunan yang menuliskan apa yang sebuah instansi berjanji untuk lakukan pada awal tahun (target), apa yang dilakukan selama tahun itu (aktivitas), dan apa hasil yang dicapai (output/outcome). Bagi instansi pemerintah, LAKIP menjadi bukti tertulis bahwa anggaran yang diberikan dipakai untuk tujuan tertentu dan bagaimana hasilnya. LAKIP biasanya memuat indikator-misalnya jumlah layanan yang diselesaikan, waktu penyelesaian, tingkat kepuasan masyarakat-yang dipakai untuk menilai pencapaian.
Penting dipahami: LAKIP lebih fokus pada hasil dan akuntabilitas, bukan pada rincian teknis bagaimana sesuatu dibeli. Misalnya, sebuah dinas kesehatan mungkin memasang target menurunkan waktu layanan per pasien sebesar 20% dalam setahun. LAKIP akan menjelaskan strategi umum, pencapaian, hambatan, dan rekomendasi ke depan. Namun LAKIP jarang menulis detail teknis tentang jenis alat yang harus dibeli, cara lelang, atau spesifikasi teknis barang. Di sinilah celah mulai muncul: LAKIP menetapkan tujuan tinggi, sedangkan pengadaan membutuhkan detail teknis supaya tujuan itu tercapai.
Selain itu, LAKIP punya ritme dan audiens berbeda. LAKIP dibuat untuk pimpinan, auditor, dan publik sebagai bahan evaluasi kinerja. Karena itu isinya sering bersifat ringkasan, indikator terukur, dan narasi capaian. Sedangkan dokumen pengadaan lebih teknis, dibuat untuk vendor, panitia lelang, dan tim teknis untuk memastikan pelaksanaan. Perbedaan audiens ini memengaruhi bahasa yang dipakai: LAKIP menggunakan bahasa program dan indikator; dokumen pengadaan menggunakan bahasa spesifikasi dan prosedur. Memahami perbedaan peran ini penting agar kita tidak berharap LAKIP menuliskan hal-hal operasional yang sebenarnya harus muncul di TOR atau RKS – tetapi juga penting supaya TOR/RKS dirancang agar mendukung indikator dan target LAKIP. Tanpa jembatan antara keduanya, target tetap tinggal target di atas kertas.
Apa itu Dokumen Pengadaan dan Bagaimana Fungsinya dalam Praktik
Dokumen pengadaan adalah kumpulan berkas yang menjelaskan secara operasional bagaimana sebuah proyek akan dibeli dan dilaksanakan. Dokumen ini meliputi RKS (Rencana Kerja dan Syarat), TOR (Terms of Reference), spesifikasi teknis, jadwal, formulir penawaran, dan kontrak. Dalam praktik, dokumen ini yang dibaca oleh penyedia barang/jasa dan menjadi dasar kerja setelah kontrak ditandatangani. Bila LAKIP menjawab “apa yang ingin dicapai”, dokumen pengadaan menjawab “bagaimana melakukannya, siapa yang melakukan, kapan, dan dengan biaya berapa”.
Fungsi utama dokumen pengadaan adalah memastikan pelaksanaan sesuai kebutuhan: spesifikasi teknis memastikan produk/jasa yang dibeli memenuhi standar; TOR menjelaskan output yang diharapkan; jadwal dan milestone menuntun waktu pelaksanaan; kontrak mengikat kedua belah pihak secara hukum. Karena itu detail dan kehati-hatian diperlukan: istilah yang ambigu atau asumsi yang tidak jelas sering menyebabkan pekerjaan selesai tetapi tidak memenuhi harapan pengguna. Selain itu dokumen pengadaan harus mematuhi aturan pengadaan publik (transparansi, persaingan, akuntabilitas), sehingga format dan prosesnya cenderung formal-entaranya pengumuman, klarifikasi, evaluasi, penandatanganan kontrak.
Masalah sering timbul karena dokumen pengadaan disusun oleh tim yang berbeda dari yang menyusun LAKIP, dengan waktu yang tidak sinkron. Tim perencanaan program yang membuat LAKIP mungkin tidak terlibat saat tim pengadaan menulis TOR. Akhirnya, dokumen pengadaan fokus pada hal-hal yang mudah diukur dan diproses lewat sistem pengadaan, bukan pada hasil akhir yang diinginkan LAKIP. Contoh gampang: LAKIP ingin “meningkatkan kapasitas layanan kesehatan desa”, tapi dokumen pengadaan membeli “500 kursi untuk puskesmas”-keduanya tidak otomatis selaras. Kursi memang barang, tapi bukan solusi kapasitas layanan. Perbedaan konteks seperti ini yang membuat pengadaan berjalan tetapi LAKIP tetap tidak menunjukkan perbaikan layanan.
Karena pengadaan memerlukan detail, penting agar tim yang menyusun TOR/RKS memahami indikator LAKIP. Misalnya, jika indikator LAKIP adalah “waktu tunggu pasien turun 20%”, TOR harus mensyaratkan metode yang jelas (misal pengadaan sistem antrian digital, pelatihan staf, atau reorganisasi jadwal) bukan sekadar pembelian peralatan kantor. Dengan kata lain, dokumen pengadaan harus menerjemahkan tujuan LAKIP ke dalam tindakan operasional yang tepat.
Perbedaan Tujuan, Bahasa, dan Waktu – Mengapa Keduanya Sering Tak Nyambung
Satu alasan paling mendasar mengapa LAKIP dan dokumen pengadaan tak nyambung adalah mereka dibuat untuk tujuan dan audiens berbeda. LAKIP berfokus pada hasil strategis, sering disusun di level program atau unit, dan ditulis untuk pimpinan, pengawas, dan publik. Dokumen pengadaan, sebaliknya, disusun untuk vendor dan panitia teknis yang membutuhkan instruksi jelas tentang barang/jasa dan prosedur pembeliannya. Karena tujuan berbeda, bahasa yang digunakan pun berbeda: LAKIP bisa memakai frasa umum seperti “meningkatkan kualitas layanan”, sedangkan dokumen pengadaan butuh angka, ukuran, spesifikasi, dan syarat kontraktual.
Perbedaan waktu juga berperan. LAKIP bersifat tahunan, sering direncanakan pada awal tahun anggaran berdasarkan rencana strategis jangka menengah. Dokumen pengadaan disusun per paket, kadang dikebut mendekati akhir tahun untuk menyerap anggaran. Ketika pengadaan dipercepat agar anggaran tidak hangus, proses penyusunan TOR menjadi terburu-buru dan seringkali tidak melibatkan pihak yang menyusun LAKIP. Akibatnya, pengadaan menjadi solusi cepat yang tidak sepenuhnya mendukung indikator kinerja. Ini umum di banyak organisasi: tekanan untuk “menghabiskan anggaran” mendorong pengadaan yang fokus pada pengeluaran, bukan pencapaian tujuan.
Selain itu, ada perbedaan tekanan: LAKIP terikat pada target program dan indeks kinerja, sedangkan tim pengadaan seringkali diukur berdasarkan kepatuhan prosedur dan penyelesaian administrasi. Jika panitia pengadaan dinilai berhasil saat proses lelang berjalan lancar dan kontrak terbit, mereka bisa merasa pekerjaan selesai meskipun output proyek tidak memengaruhi indikator LAKIP. Tekanan tugas yang berbeda inilah yang membuat kedua dokumen berjalan di jalur paralel tanpa saling mendukung.
Perbedaan ini diperburuk oleh kurangnya bahasa jembatan yang baku antara kedua dokumen. LAKIP jarang menyertakan “spesifikasi teknis” sementara RKS/TOR jarang memuat “indeks kinerja program” yang sama persis dengan LAKIP. Tanpa format bersama yang memaksa konsistensi, hubungan keduanya bergantung pada goodwill antarunit-yang sering tidak cukup.
Penyebab Praktis Ketidaksambungan: Dari Budaya Kerja hingga Teknis Dokumen
Jika kita lihat dari sisi praktek, ada beberapa penyebab berulang yang membuat LAKIP dan dokumen pengadaan tidak sinkron. Pertama adalah proses kolaborasi yang lemah. Di banyak instansi, penyusunan LAKIP dilakukan oleh tim perencanaan/kepegawaian, sementara dokumen pengadaan dibuat oleh tim pengadaan yang berbeda. Tanpa pertemuan lintas-tim, asumsi dan prioritas tidak diselaraskan. Orang perencanaan menetapkan target berdasarkan visi strategis; panitia pengadaan melihat solusi yang mudah dilelang. Akibatnya, solusi operasional yang dipilih tidak selalu relevan.
Kedua, ada masalah literasi dokumen. Penyusunan TOR yang baik memerlukan kemampuan menerjemahkan kebutuhan program menjadi persyaratan teknis. Tidak semua pembuat TOR punya latar belakang teknis yang memadai atau pengalaman lapangan sehingga yang ditulis terlalu generik atau terlalu teknis sehingga vendor bingung. Hasilnya adalah tender yang menghasilkan penawaran yang tidak sesuai atau penerapan yang melenceng dari tujuan program.
Ketiga, waktu dan anggaran. Mendekati akhir tahun banyak unit berlomba-lomba melakukan pengadaan untuk menyerap anggaran. Keadaan mendesak mendorong shortcut-TOR disalin dari paket sebelumnya, jadwal dipadatkan, atau uji tuntas (due diligence) dilewatkan. Pengadaan yang terburu-buru kurang waktu untuk memastikan dukungan terhadap indikator LAKIP.
Keempat, kurangnya mekanisme verifikasi dan monitoring. Setelah barang sampai atau layanan berjalan, ada kecenderungan administrasi berhenti pada berita acara serah terima dan tagihan. Namun verifikasi apakah pengadaan memberikan kontribusi pada indikator LAKIP (misal peningkatan layanan atau penurunan waktu tunggu) sering tidak dilakukan. Tanpa loop feedback, panitia pengadaan dan penyusun LAKIP tidak belajar dari pengalaman.
Kelima, orientasi pada aturan formal ketimbang hasil. Aturan pengadaan mengharuskan prosedur transparan dan kompetitif. Seringkali panitia fokus pada pemenuhan aturan administratif sehingga aspek hasil menjadi sekunder. Misalnya, memilih barang dengan kriteria yang mudah diuji administrasi (harga, kelengkapan dokumen) alih-alih memilih vendor yang menawarkan pendekatan yang lebih cocok untuk mencapai target kinerja.
Terakhir, ada masalah komunikasi antar-level: pimpinan bisa menetapkan target ambisius di LAKIP tanpa memberi ruang anggaran dan waktu yang realistis, lalu menuntut panitia pengadaan segera mengeksekusi. Tekanan seperti ini memicu solusi cepat yang seringkali tidak bersesuaian dengan tujuan jangka panjang. Mengatasi masalah-masalah praktis ini membutuhkan intervensi di proses, kapasitas SDM, dan sistem monitoring.
Dampak Ketidaksambungan: Bukan Hanya soal Administrasi, tapi Layanan dan Keuangan
Ketidaksambungan antara LAKIP dan pengadaan membawa dampak nyata. Pertama adalah pemborosan anggaran. Ketika pengadaan dilakukan tanpa koneksi jelas ke indikator kinerja, anggaran bisa digunakan untuk membeli barang atau jasa yang tidak menyelesaikan masalah utama. Contohnya: membeli komputer baru untuk layanan publik padahal masalah utama adalah proses kerja yang lambat dan kebutuhan pelatihan staf. Hasil: perangkat terpakai tapi tujuan LAKIP tidak tercapai, sementara uang sudah keluar.
Kedua, kualitas layanan publik menurun atau stagnan. Masyarakat tidak melihat perbaikan meskipun laporan menunjukkan target tercapai pada angka-angka administratif. Ketidaksesuaian antara apa yang dibeli dan apa yang dibutuhkan membuat manfaat tidak dirasakan pengguna akhir. Ini merusak kepercayaan publik terhadap lembaga.
Ketiga, muncul risiko audit dan sanksi. Audit kerap memeriksa korelasi antara anggaran yang dikeluarkan dan hasil yang dilaporkan. Jika pengadaan terlihat tidak mendukung hasil, auditor bisa memberi temuan yang berujung pada rekomendasi perbaikan atau potensi sanksi administratif. Temuan audit juga merusak reputasi instansi.
Keempat, efisiensi organisasi terganggu. Sumber daya manusia terbuang: staf harus melaksanakan pekerjaan yang tidak relevan atau memperbaiki pekerjaan yang buruk karena dokumen pengadaan kurang pas. Waktu yang seharusnya dipakai meningkatkan program malah dihabiskan untuk memperbaiki administrasi dan klaim garansi.
Kelima, pembelajaran institusional terhambat. Jika tidak ada feedback loop antara pengadaan dan LAKIP, pengalaman berharga tentang apa yang benar-benar bekerja tidak terdokumentasi. Organisasi jadi mengulangi kesalahan yang sama di tahun berikutnya.
Dampak-dampak ini bukan sekadar abstrak; mereka memengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat yang seharusnya mendapatkan layanan lebih baik. Oleh karena itu, menyelaraskan LAKIP dan dokumen pengadaan bukan sekadar urusan administrasi internal-ia adalah persoalan efektivitas penggunaan uang publik dan kualitas pelayanan.
Cara Menyelaraskan LAKIP dan Pengadaan
Menyelaraskan kedua dokumen ini memerlukan perubahan proses yang pragmatis dan terukur. Berikut langkah-langkah praktis yang bisa diterapkan oleh instansi tanpa perlu regulasi baru yang rumit.
- Buat Jembatan Formal di Awal Perencanaan
Pada saat menyusun LAKIP (atau sebelum finalisasi RKA), undang perwakilan panitia pengadaan ke meja perencanaan. Dalam rapat ini, target program dibedah menjadi kebutuhan operasional: apa yang harus dibeli, jasa apa yang diperlukan, dan indikator apa yang akan terpengaruh. Hasil pertemuan ini dicatat sebagai lampiran yang memudahkan panitia saat menyusun TOR/RKS. - Gunakan Template yang Menghubungkan Indikator ke Spesifikasi
Kembangkan template TOR yang wajib memuat kolom “Indikator LAKIP yang Didukung” dan “Cara Pengukuran Dampak”. Dengan demikian, setiap paket pengadaan otomatis menunjuk ke indikator LAKIP yang relevan dan menyebutkan bagaimana hasilnya akan diukur (misalnya survey pengguna, pengukuran waktu layanan, atau uji coba). - Jadwalkan Sinkronisasi Waktu
Hindari pengadaan mendadak di akhir tahun tanpa keterlibatan tim perencanaan. Tetapkan jadwal tahunan di mana pengadaan paket strategis yang mendukung target LAKIP diprioritaskan pada kuartal yang memberi waktu pengukuran hasil sebelum laporan tahunan. - Desain Mekanisme Verifikasi yang Ringkas tetapi Bermakna
Selain berita acara serah terima, sertakan klausul bahwa sebagian pembayaran akan bergantung pada bukti kontribusi terhadap indikator (misal pelatihan selesai dengan peningkatan pengetahuan terukur). Tidak perlu mekanisme rumit-cukup checklist, survey singkat, atau laporan 1-2 halaman dari pihak pengguna. - Bangun Tim Koordinasi Lintas-Fungsi
Bentuk tim kecil yang terdiri dari perencana, pengadaan, teknis, dan monitoring & evaluasi (M&E). Tim ini bertemu rutin untuk meninjau paket-paket yang kritis dan memastikan TOR memang menerjemahkan tujuan LAKIP. - Pelatihan untuk Penyusun TOR
Sediakan modul singkat tentang cara menerjemahkan indikator LAKIP ke persyaratan pengadaan. Modul ini fokus pada contoh nyata, bukan teori-misal bagaimana indikator “waktu pelayanan” bisa diterjemahkan menjadi persyaratan sistem manajemen antrian dan pelatihan staf. - Gunakan Pilot dan Evaluasi
Uji dulu pendekatan ini pada 1-2 paket strategis. Kumpulkan data dan gunakan sebagai bukti saat memperluas praktek. Pilot memberi ruang perbaikan sehingga tidak mengganggu seluruh proses pengadaan.
Langkah-langkah di atas praktis dan dapat dimulai tanpa perubahan peraturan yang besar. Kuncinya: menjadikan penyelarasan sebagai bagian rutin dari alur kerja, bukan tugas ekstra yang hanya dilakukan saat ada pemeriksaan.
Contoh Implementasi: Ilustrasi agar Lebih Nyata
Agar tidak abstrak, berikut dua contoh sederhana yang menunjukkan bagaimana LAKIP dan pengadaan bisa diselaraskan.
Contoh 1 – Dinas Kesehatan dan Target Waktu Pelayanan
LAKIP: target menurunkan rata-rata waktu tunggu pasien di puskesmas sebesar 30% dalam setahun.
Masalah umum: pengadaan hanya membeli meja dan kursi sehingga tidak berdampak pada waktu tunggu.
Pendekatan selaras: pada perencanaan, tim perencanaan bekerja dengan tim pengadaan menentukan bahwa solusi harus menyentuh prosedur pelayanan-misal pengadaan sistem antrian sederhana + pelatihan manajemen antrian untuk staf. TOR menyebutkan secara eksplisit indikator LAKIP (waktu tunggu), metode pengukuran (observasi 1 minggu sebelum dan 1 bulan setelah), dan ketentuan pembayaran termin kedua bergantung pada bukti penurunan yang realistis atau minimal peningkatan proses. Hasilnya: vendor tidak hanya mengirim perangkat, tetapi juga memberikan pelatihan dan manual kerja, sehingga indikator LAKIP punya peluang tercapai.
Contoh 2 – Dinas Pendidikan dan Program Literasi Digital
LAKIP: meningkatkan literasi digital siswa di 10 sekolah pilot.
Masalah umum: pengadaan membeli perangkat tanpa kurikulum atau pelatihan untuk guru.
Pendekatan selaras: TOR mewajibkan vendor menyediakan paket pelatihan guru dan materi ajar yang dapat diuji; indikator LAKIP (persentase siswa yang lulus tes literasi dasar) dicantumkan; pembayaran akhir bergantung pada laporan uji akhir dan dokumen kegiatan. Jadi bukan sekadar penyaluran barang, melainkan paket penuh yang mendukung indikator.
Kedua contoh ini menunjukkan prinsip sederhana: terjemahkan indikator ke tindakan, ukur dampaknya, dan kaitkan sedikit pembayaran dengan bukti kontribusi. Jangan takut membuat klausul sederhana yang menuntut bukti hasil-bukan bukti administrasi semata.
Rekomendasi untuk Pimpinan, Panitia Pengadaan, dan Penyusun LAKIP
Perubahan sistemik butuh dukungan pimpinan. Berikut rekomendasi berbeda untuk aktor kunci yang bisa membuat perubahan cepat dan efektif.
Untuk Pimpinan:
- Jadikan penyelarasan LAKIP-pengadaan sebagai kebijakan organisasi: minta setiap paket strategis memuat kolom indikator LAKIP dan mekanisme verifikasi.
- Beri insentif kepada unit yang berhasil menunjukkan korelasi nyata antara belanja dan pencapaian indikator.
- Alokasikan waktu untuk rapat koordinasi awal tahun yang melibatkan perencanaan dan pengadaan.
Untuk Panitia Pengadaan:
- Pakai template TOR yang mengharuskan pencantuman indikator LAKIP terkait.
- Libatkan pengguna teknis atau perencana program sejak awal saat menyusun TOR.
- Prioritaskan paket yang berdampak pada indikator utama dan alokasikan proses pengadaan lebih awal untuk paket-paket strategis.
Untuk Penyusun LAKIP dan Unit Perencana:
- Saat menetapkan target, pikirkan langkah operasional apa yang diperlukan untuk mencapainya dan catat jenis pengadaan yang mungkin diperlukan.
- Sertakan estimasi kebutuhan dalam lampiran LAKIP sebagai panduan bagi tim pengadaan.
Untuk Tim Monitoring dan Evaluasi:
- Buat checklist verifikasi sederhana yang dipakai saat serah terima.
- Rekam hasil pengadaan yang relevan dengan indikator dan laporkan temuan kepada pimpinan untuk bahan perbaikan program.
Pelatihan & Kapasitas:
- Sediakan modul singkat tentang “menerjemahkan target ke TOR” dan latih staf pengadaan serta perencana.
- Bentuk komunitas praktik internal agar pengalaman terbaik mudah dibagikan antar-unit.
Dengan langkah-langkah ini, perubahan budaya dan prosedur dapat dimulai dari level praktis dan menular ke unit lain.
Kesimpulan
LAKIP dan dokumen pengadaan tidak seharusnya hidup sendiri-sendiri. LAKIP memberi arah dan tujuan; dokumen pengadaan menyusun cara mewujudkannya. Ketidaksambungan antara keduanya menyebabkan pemborosan anggaran, layanan yang tidak berubah, dan celah akuntabilitas. Namun masalah ini bukan tak terpecahkan. Dengan perubahan proses sederhana-seperti pertemuan lintas-tim di awal perencanaan, template TOR yang mengaitkan indikator LAKIP, mekanisme verifikasi dampak, dan pilot pada paket strategis-instansi bisa mulai melihat hasil nyata.
Kunci utamanya adalah menjadikan penyelarasan sebagai bagian biasa dari alur kerja, bukan tugas tambahan yang hanya muncul ketika ada audit. Perlu dukungan pimpinan, template dan contoh konkret, serta sedikit disiplin dalam mengaitkan pembayaran dengan bukti kinerja. Bila langkah-langkah kecil ini diambil secara konsisten, LAKIP tidak lagi menjadi sekadar laporan yang cantik di meja, dan pengadaan tidak lagi sekadar prosedur yang memakan waktu-melainkan alat nyata untuk memperbaiki layanan publik.