Pendahuluan
Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) menjadi dokumen penting untuk menggambarkan capaian kinerja, pertanggungjawaban penggunaan anggaran, dan arah perbaikan pelayanan publik. Di tingkat daerah, penyusunan LAKIP tidak hanya menjadi kewajiban administratif tetapi juga peluang untuk memperbaiki tata kelola, meningkatkan transparansi, dan memandu pengambilan keputusan berbasis bukti. Namun kenyataan di banyak daerah menunjukkan bahwa proses penyusunan LAKIP kerap menemui berbagai kendala – mulai masalah teknis dan sumber daya sampai hambatan budaya organisasi dan politik.
Artikel ini mengurai secara rinci kendala-kendala utama dalam penyusunan LAKIP di daerah, menjelaskan akar masalahnya, dampak yang timbul, dan memberikan rekomendasi praktis yang terstruktur agar dokumen LAKIP bukan sekadar formalitas tetapi benar-benar berguna untuk perbaikan kinerja. Tiap bagian dibuat mudah dibaca: ada penjelasan masalah, contoh manifestasi di lapangan, dan langkah konkret untuk perbaikan. Tujuan akhir adalah memberi pegangan bagi pejabat perencanaan, sekretariat daerah, auditor internal, hingga masyarakat sipil yang berperan dalam mendorong akuntabilitas pemerintahan daerah.
1. Pemahaman LAKIP dan Kerangka Hukum yang Belum Seragam
Salah satu kendala mendasar adalah variasi pemahaman tentang apa itu LAKIP dan bagaimana fungsi dokumen tersebut dalam siklus perencanaan dan penganggaran. Meskipun terdapat ketentuan nasional yang mengatur penyusunan LAKIP, implementasi di tingkat daerah seringkali berbeda-beda-akibat interpretasi aturan, kapasitas teknis, maupun kebijakan internal masing-masing pemerintah daerah.
Permasalahan sering muncul pada level definisi dan tujuan: apakah LAKIP dipandang sebagai alat akuntabilitas internal, alat komunikasi publik, atau sekadar dokumen yang harus dipenuhi untuk memenuhi persyaratan administrasi? Jika LAKIP hanya dilihat sebagai kewajiban formal, kualitasnya cenderung rendah-ringkasan minim, data tidak diverifikasi, dan rekomendasi perbaikan samar. Padahal LAKIP idealnya menghubungkan rencana (RPJMD/RKPD), penganggaran (APBD), pelaksanaan program, serta evaluasi kinerja dan rencana tindak lanjut.
Kerangka hukum memang ada-peraturan pemerintah, pedoman BPK, dan petunjuk teknis terkait akuntabilitas kinerja-tetapi pedoman tersebut sering bersifat generik. Di lapangan, Bappeda, Inspektorat, serta unit perencana/keuangan masing-masing OPD harus menafsirkan pedoman itu untuk konteks lokal. Kurangnya panduan operasional yang terstandar menyebabkan dokumen LAKIP berbeda mutu dan formatnya antar daerah, sehingga menyulitkan perbandingan kinerja antar daerah dan pengawasan oleh publik atau DPRD.
Masalah lain adalah sinkronisasi regulasi. Ketika terdapat pembaruan peraturan pusat (mis. metode pelaporan atau indikator baru), sosialisasi dan penyesuaian ke tingkat daerah sering terlambat atau tidak menyeluruh. Akibatnya, daerah bekerja dengan pedoman lama atau campuran pedoman, sehingga LAKIP menjadi tidak konsisten dan berisiko tidak memenuhi standar audit.
Untuk mengatasi kendala ini perlu kombinasi pendekatan: peningkatan sosialisasi pedoman nasional dengan contoh-contoh praktis, penerapan template baku yang masih memberi ruang konteks lokal, serta mekanisme mentoring dan review antar daerah. Selain itu, peran kementerian/lembaga pusat untuk menyediakan toolkit (format, contoh indikator, panduan penilaian) akan mempercepat harmonisasi dan menaikkan kualitas LAKIP di seluruh daerah.
2. Keterbatasan Kapasitas SDM dan Peran Organisasi
Kualitas LAKIP sangat tergantung pada kapasitas sumber daya manusia (SDM) yang menyusunnya. Di banyak daerah, unit yang bertanggung jawab-baik Bappeda, Biro Organisasi, maupun Unit Pengelola Kinerja-sering kekurangan tenaga ahli analisis kebijakan, statistik, evaluator program, atau penulis teknis yang mampu merumuskan narasi berbasis bukti. Ada beberapa manifestasi kendala SDM ini.
- Kemampuan analisis. Penyusunan LAKIP menuntut analisis data yang mampu mengaitkan program dengan hasil (outcome), bukan sekadar melaporkan aktivitas (output). Namun banyak penyusun yang belum terlatih melakukan analisis outcome, cost-benefit, atau pengukuran dampak. Akibatnya LAKIP berisi kegiatan-kegiatan yang ditulis tanpa konteks capaian yang terukur.
- Keterampilan teknis penulisan dan tata kelola dokumentasi. LAKIP yang berkualitas butuh ringkasan eksekutif yang jelas, indikator yang terukur, bukti pendukung (data, grafik, studi kasus), dan rencana tindak lanjut yang konkret. SDM yang terbiasa membuat laporan administrasi tidak selalu mampu menyusun dokumen yang komunikatif bagi publik atau pengambil kebijakan.
- Masalah rotasi dan retensi pegawai. Di beberapa daerah, staf perencanaan sering dipindah karena rotasi birokrasi atau promosi. Rotasi yang tinggi menghambat akumulasi pengetahuan dan pengalaman dalam menyusun LAKIP, sehingga proses harus mengulang dari awal setiap pergantian staf.
- Beban kerja dan multitasking. Tim kecil sering menangani banyak produk: RPJMD, RKPD, penyusunan rancangan kebijakan, hingga LAKIP. Beban kerja yang padat menurunkan fokus dan kualitas pelaporan.
Solusi praktis meliputi: program capacity building berkelanjutan (pelatihan analisis data, evaluasi program, penulisan kebijakan), mentoring oleh Bappenas atau perguruan tinggi, pembentukan tim khusus LAKIP/Performance Unit di sekretariat daerah yang stabil, serta penggunaan template dan guideline kerja yang mempermudah tugas. Selain itu, mekanisme dokumentasi yang terpusat (policy library) dan SOP penyusunan LAKIP membantu menjaga kontinuitas kerja walau terjadi rotasi staf.
Investasi pada SDM tidak hanya soal pelatihan singkat: perlu pengembangan karir, insentif kinerja, dan pengakuan profesional agar kapasitas ini dipertahankan dan memberi dampak jangka panjang pada kualitas perencanaan dan pelaporan daerah.
3. Kualitas Data dan Sistem Informasi yang Belum Memadai
LAKIP yang bisa dipercaya menuntut data yang valid, lengkap, dan mudah diakses. Namun banyak daerah menghadapi masalah data: data yang terfragmentasi antar OPD, database tidak terintegrasi, data tidak up-to-date, atau tidak adanya standar metadata. Tantangan ini memengaruhi kemampuan menyajikan bukti capaian kinerja yang kuat.
- Fragmentasi data. Data sektoral-misalnya pendidikan, kesehatan, perizinan-disimpan di OPD masing-masing dengan format berbeda. Ketika hendak menyusun LAKIP, tim perencana harus mengumpulkan data manual: spreadsheet, laporan hardcopy, atau email. Proses ini memakan waktu dan rawan kesalahan. Ketidaksesuaian definisi indikator antar OPD juga sering muncul-misal definisi “pelayanan cepat” atau “kepuasan masyarakat” berbeda interpretasi.
- Keterbaruan data. Banyak sistem administrasi tidak dimutakhirkan secara real-time; laporan bulanan atau triwulanan pun terlambat masuk. Akibatnya LAKIP sering menggunakan data yang sudah usang sehingga tidak mencerminkan kondisi terkini.
- Kualitas input data. Ada kecenderungan data administratif tidak diverifikasi atau mengandung kesalahan entri. Tanpa mekanisme validasi dan audit data, angka-angka dalam LAKIP mudah dipertanyakan.
- Kurangnya sistem informasi kinerja terintegrasi (Performance Management System). Beberapa daerah belum memiliki dashboard kinerja yang menyatukan indikator utama (IKU/IKT), target, realisasi, dan evidence pendukung. Ketiadaan alat ini menyulitkan monitoring berkelanjutan dan kompilasi LAKIP.
Solusi teknis mencakup: pembangunan data warehouse daerah, adopsi sistem e-planning yang terhubung dengan SIA (Sistem Informasi Administrasi) OPD, penetapan standar metadata dan definisi indikator, serta mekanisme ETL (extract-transform-load) untuk sinkronisasi data. Di sisi proses, perlu SOP pelaporan berkala dengan tenggat waktu jelas dan tanggung jawab data owner di setiap OPD. Verifikasi data melalui sampling atau audit internal (inspektorat) juga meningkatkan kepercayaan publik pada angka-angka yang disajikan.
Investasi pada infrastruktur TI dan pengembangan dashboard kinerja memberi manfaat ganda: mempercepat penyusunan LAKIP, mempermudah monitoring, dan meningkatkan kultur berbasis data di lingkungan pemerintahan daerah.
4. Koordinasi Antar OPD dan Integrasi Program
LAKIP yang bermakna harus merefleksikan sinergi antar OPD: program tidak bisa dilihat sepotong-potong. Namun koordinasi antar instansi di tingkat daerah seringkali menjadi kendala signifikan-baik karena kepentingan sektoral, bukan prioritas pimpinan, atau mekanisme koordinasi yang lemah.
Salah satu masalah klasik adalah
- Silo sektoral. Setiap OPD fokus pada target sektornya sendiri-mis. Dinas Kesehatan mengejar cakupan imunisasi, Dinas Pendidikan fokus pada angka partisipasi sekolah-tanpa pemetaan bagaimana intervensi mereka saling memengaruhi. LAKIP yang disusun secara terpisah tidak mampu menampilkan hasil kolaborasi atau trade-off antar program, sehingga strategi kebijakan yang diperlukan untuk mencapai outcome lintas sektor tidak jelas.
- Kelemahan forum koordinasi. Rapat koordinasi teknis sering bersifat ritual dan tidak menghasilkan keputusan yang mengikat. Tanpa forum yang mempunyai agenda terstruktur-mis. pembahasan indikator bersama, alokasi tanggung jawab, dan timeline-implementasi kolaboratif sulit direalisasikan.
- Konflik prioritas dan anggaran. OPD akan lebih memperjuangkan pagu anggaran sektornya ke eksekutif dan DPRD. Bila Bappeda tidak memiliki posisi yang kuat dalam mengarahkan prioritas berdasarkan evidence, rencana daerah mudah terpecah dan LAKIP hanya menggambarkan aktivitas sektoral tanpa tolok ukur integratif.
- Masalah peran fasilitasi. Bappeda idealnya menjadi motor integrasi, tetapi di beberapa daerah kelembagaan Bappeda lemah atau kekurangan otoritas untuk meminta komitmen OPD. Tanpa mekanisme insentif dan sanksi, OPD cenderung mengabaikan rekomendasi koordinasi.
Perbaikan perlu dimulai dari redesign proses: tetapkan indikator kinerja lintas sektor (mis. indeks kesejahteraan daerah) yang menjadi KPI bersama; buat roadmap intervensi kolaboratif; bentuk working group tematik (mis. stunting, pengelolaan air) dengan mandat jelas dan TOR; serta pastikan rapat koordinasi berjenjang menghasilkan keputusan tertulis yang menjadi lampiran LAKIP. Penguatan kapasitas Bappeda dalam fasilitasi negosiasi anggaran dan penyusunan indikator juga krusial.
Dengan integrasi yang lebih baik, LAKIP berkembang dari laporan fragmen menjadi dokumen yang menunjukkan bagaimana daerah memobilisasi sumber daya untuk mencapai hasil yang komprehensif.
5. Keterbatasan Sumber Daya Keuangan dan Tekanan Waktu
Aspek pembiayaan dan waktu merupakan faktor determinan kualitas LAKIP. Penyusunan yang berkualitas memerlukan waktu, sumber daya untuk verifikasi data, konsultasi dengan stakeholder, serta dukungan teknis (mis. pembuatan grafik, infografis). Namun dalam praktik, tim penyusun seringkali bekerja dalam kondisi keterbatasan anggaran dan tenggat waktu yang ketat.
- Anggaran untuk proses. Banyak daerah tidak mengalokasikan dana memadai untuk kegiatan evaluasi dan penyusunan LAKIP-seperti studi evaluasi program, survei evaluatif, atau konsultasi publik. Tanpa dana ini, LAKIP menjadi produk internal yang mengandalkan data administratif sederhana dan keterbatasan metodologis.
- Tenggat waktu yang sempit. Siklus perencanaan dan penganggaran di daerah biasanya padat: penyusunan RKPD, pembahasan APBD, hingga penyelesaian dokumen LKPD. LAKIP kerap masuk di akhir rangkaian tugas sehingga tim harus menyusunnya cepat, memakai data seadanya, dan tanpa ruang untuk validasi atau konsultasi publik.
- Prioritas politik dan agenda manajerial. Pimpinan daerah mungkin menekankan penyelesaian dokumen lain atau proyek strategis sehingga alokasi waktu pimpinan untuk memberikan arahan substansial dalam LAKIP terbatas. Kepemimpinan yang terlibat sangat penting untuk menetapkan prioritas dan kualitas laporan.
Solusi pragmatis meliputi: perencanaan kegiatan LAKIP jauh-jauh hari dan memasukkan anggaran untuk evaluasi dalam APBD rutin; mengintegrasikan proses evaluasi ke dalam M&E tahunan sehingga data dan temuan sudah tersedia saat penulisan LAKIP; serta memanfaatkan kolaborasi dengan perguruan tinggi atau LSM untuk studi evaluatif berbasis grant. Selain itu, penjadwalan kerja yang realistis dan pembagian tugas yang jelas antar unit membantu mengurangi kerja terburu-buru.
Untuk jangka menengah, perlu kebijakan internal yang menjadikan LAKIP sebagai produk strategis-dengan alokasi anggaran dan sumber daya yang memadai-bukan sekadar lampiran administratif. Hal ini akan meningkatkan kualitas analisis dan rekomendasi yang bisa dipakai untuk perbaikan kinerja.
6. Tantangan dalam Penyusunan Indikator dan Pengukuran Kinerja
Indikator yang tepat adalah tulang punggung LAKIP. Namun merumuskan indikator yang relevan, valid, dan terukur (SMART) sering menjadi hambatan. Ada beberapa masalah umum pada level indikator dan pengukuran.
- Indikator yang berorientasi output bukan outcome. Banyak LAKIP memuat indikator jumlah kegiatan, jumlah peserta, atau jumlah fasilitas yang dibangun-yang memang mudah diukur-tetapi tidak menunjukkan perubahan nyata pada kesejahteraan masyarakat (outcome). Mengukur outcome memerlukan desain indikator yang lebih rumit, data lapangan, dan waktu pemantauan.
- Masalah baselining dan target. Tanpa baseline yang jelas (kondisi awal), target capaian menjadi tidak realistis atau tidak bermakna. Misalnya menetapkan target peningkatan 50% tanpa memahami titik awal dan faktor pengaruh akan menimbulkan kegagalan dalam penilaian.
- Ketersediaan data untuk indikator. Beberapa indikator memerlukan data yang kompleks-mis. indeks kualitas hidup, tingkat penurunan stunting, atau indikator kualitas layanan-yang tidak tersedia dalam administrasi rutin. Mengumpulkan data tersebut memerlukan metode survei atau studi evaluasi.
- Metodologi pengukuran dan verifikasi. Pengukuran kinerja harus didukung bukti (dokumen, survei, verifikasi lapangan). Di banyak daerah, bukti pendukung minim atau tidak terdokumentasi rapi sehingga klaim capaian sulit diverifikasi oleh auditor atau publik.
Untuk memperbaiki kualitas indikator, perlu pendekatan: mengadopsi mix indikator output-outcome dengan prioritas pada outcome; menyusun baseline sebelum program dimulai; menentukan metode pengukuran yang feasible (survei sampel, registrasi rutin); serta membuat pedoman definisi indikator yang baku antar OPD. Capacity building tentang metodologi evaluasi dan sampling juga membantu meningkatkan kualitas pengukuran.
Terakhir, penggunaan indicator framework nasional (mis. standar minimal IKU yang ditetapkan pusat) dapat membantu sinkronisasi. Namun daerah perlu fleksibilitas memilih indikator lokal yang relevan sambil menjaga standarisasi definisi agar memungkinkan benchmarking dan akuntabilitas.
7. Isu Transparansi, Partisipasi Publik, dan Akuntabilitas
LAKIP tidak hanya dokumen internal-seharusnya ia menjadi alat komunikasi dan kontrol publik. Namun praktik transparansi dan partisipasi dalam penyusunan LAKIP masih jauh dari ideal di banyak daerah, sehingga akuntabilitas publik terhadap kinerja pemerintahan lemah.
- Keterlibatan publik selama proses evaluasi dan penyusunan LAKIP sering minim. Musyawarah publik yang seharusnya menjadi momen mengumpulkan feedback dari masyarakat justru bersifat rutinitas dengan representasi terbatas. Tanpa masukan publik, LAKIP berisiko kehilangan dimensi relevansi sosial.
- Akses publik terhadap LAKIP dan evidence pendukungnya seringkali terbatas. Beberapa daerah belum mempublikasikan LAKIP di portal resmi atau menempatkannya dalam format yang sulit diakses (PDF besar tanpa ringkasan). Keterbukaan data-seperti dashboard kinerja atau dataset pendukung-meningkatkan akuntabilitas namun belum banyak diterapkan.
- Mekanisme umpan balik dan tindak lanjut. Masyarakat atau DPRD yang menemukan ketidaksesuaian jarang memiliki saluran formal untuk melaporkan dan meminta klarifikasi. Sementara internal audit atau inspektorat mungkin menemukan masalah, proses publikasi temuan dan tindak lanjutnya tidak transparan.
- Budaya organisasi yang belum sepenuhnya menerima evaluasi eksternal. Kritik terhadap capaian kerap ditanggapi defensif, bukan sebagai peluang belajar dan perbaikan. Hal ini menghambat pembelajaran organisasi dan perbaikan kebijakan.
Untuk meningkatkan transparansi dan partisipasi, pemerintah daerah bisa menerapkan beberapa langkah: mempublikasikan LAKIP dan dataset pendukung di portal publik yang mudah diakses; menyertakan ringkasan eksekutif berbahasa awam; membuka forum konsultasi publik online/offline; dan membuat mekanisme pengaduan atau permintaan klarifikasi atas temuan LAKIP. Selain itu, mendorong keterlibatan DPRD secara proaktif dalam review LAKIP dan menjadikan hasil review tersebut sebagai bagian dari laporan publik meningkatkan legitimasi.
Budaya evaluasi yang terbuka perlu dibangun melalui pelatihan pimpinan, penghargaan pada transparansi, dan kebijakan yang mendorong accountability-mis. publikasi tindakan korektif yang diambil atas temuan LAKIP.
8. Hambatan Teknis: Infrastruktur TI, Software, dan Standarisasi
Penyusunan LAKIP modern membutuhkan dukungan teknis: software untuk pengelolaan kinerja, template otomatis, dashboard visualisasi, dan integrasi data antar sistem. Namun kendala infrastruktur TI dan keterbatasan perangkat lunak menjadi hambatan nyata, khususnya di daerah terpencil atau dengan anggaran terbatas.
Beberapa daerah belum memiliki sistem e-planning/e-budgeting yang andal. Tanpa platform digital, proses pengumpulan data manual, verifikasi dokumen, dan kompilasi laporan dilakukan dengan spreadsheet yang rentan versi dan kesalahan. Hal ini memperpanjang waktu penyusunan dan mengurangi kemampuan analitik.
Lisensi software juga menjadi masalah: penggunaan perangkat lunak berbayar memerlukan anggaran; sementara solusi open-source memerlukan tenaga TI untuk instalasi, kustomisasi, dan pemeliharaan. Banyak pemerintah daerah tidak memiliki tim TI yang memadai untuk mengelola sistem ini.
Standarisasi format laporan dan metadata juga kurang. Ketika setiap OPD menyajikan data dengan format berbeda, harmonisasi manual memakan waktu. Standar format (CSV, JSON), naming convention, dan definisi indikator perlu disepakati agar integrasi bisa berjalan otomatis.
Konektivitas internet juga memengaruhi proses. Di daerah dengan jaringan bergelombang, kerja kolaboratif menggunakan platform cloud menjadi sulit. Oleh karena itu solusi offline-first dengan sinkronisasi ketika koneksi tersedia seringkali lebih realistis.
Solusi teknis yang direkomendasikan meliputi: implementasi modul e-planning yang modular (dapat diadopsi bertahap), penggunaan template standar berbasis open data, pembangunan data warehouse daerah, serta penggunaan platform dashboard (mis. Metabase, Grafana) untuk visualisasi kinerja. Tim TI daerah perlu diperkuat, atau daerah dapat memanfaatkan dukungan shared services-mis. pusat data provinsi atau kerja sama antar daerah-untuk menekan biaya.
Penting juga menetapkan standar metadata dan prosedur ETL sehingga data dari OPD bisa masuk ke LAKIP secara konsisten. Pelatihan penggunaan sistem dan SOP yang jelas membantu memastikan adopsi teknologi berjalan mulus.
9. Rekomendasi Praktis dan Langkah Perbaikan
Setelah mengurai kendala utama, bagian ini merangkum langkah-langkah praktis yang bisa diambil oleh pemerintah daerah untuk memperbaiki proses penyusunan LAKIP sehingga menjadi alat perbaikan kinerja yang bermakna.
- Sosialisasi dan harmonisasi pedoman
- Adopsi template LAKIP standar yang disesuaikan konteks lokal; lakukan sosialisasi reguler ketika ada perubahan pedoman pusat. Sediakan contoh pengisian (good practice) untuk memudahkan OPD.
- Penguatan kapasitas SDM
- Bentuk tim inti LAKIP dengan staf tetap; selenggarakan pelatihan berjenjang (evaluasi program, metodologi indikator, penulisan kebijakan), dan kembangkan program mentoring dengan perguruan tinggi.
- Bangun sistem data terintegrasi
- Implementasikan data warehouse/portal kinerja yang menyatu dengan sistem OPD. Tetapkan data owners, standar metadata, dan SOP pelaporan berkala.
- Perbaiki koordinasi antar OPD
- Jadwalkan forum koordinasi tematik; tetapkan indikator lintas sektor; gunakan MOA/komitmen formal untuk kolaborasi program.
- Alokasikan anggaran untuk evaluasi
- Sisihkan anggaran untuk studi evaluatif, survei, dan konsultasi publik agar LAKIP didukung bukti kuat dan rekomendasi realistis.
- Tingkatkan transparansi dan partisipasi
- Publikasikan LAKIP, dashboard kinerja, dan ringkasan eksekutif; adakan konsultasi publik dan sesi klarifikasi dengan DPRD serta stakeholder.
- Manfaatkan teknologi yang tepat guna
- Pilih solusi e-planning modular, gunakan open-source bila perlu, dan rancang mekanisme offline-first untuk daerah with limited connectivity.
- Sistem monitoring & feedback
- Terapkan mekanisme review rutin (triwulan) dan audit internal oleh inspektorat; dokumentasikan tindakan korektif dan pantau implementasinya.
- Budaya belajar dan continuous improvement
- Jadikan LAKIP sebagai bahan refleksi: anggaran dan kebijakan harus berubah berdasarkan temuan evaluasi; raih penghargaan internal untuk inovasi berbasis data.
Implementasi rekomendasi ini memerlukan komitmen politik dari kepala daerah dan koordinasi lintas perangkat daerah. Namun langkah-langkah ini pragmatis dan dapat diadopsi bertahap-mulai dari perbaikan proses sederhana hingga transformasi digital jangka menengah.
Kesimpulan
Penyusunan LAKIP di daerah menghadapi hambatan multi-dimensi: dari pemahaman yang belum seragam tentang fungsi LAKIP, keterbatasan kapasitas SDM, kualitas data yang buruk, koordinasi antar OPD yang lemah, sampai batasan anggaran dan dukungan teknologi. Hambatan-hambatan ini membuat LAKIP acap kali berhenti sebagai kewajiban administratif dan gagal menjadi instrumen akuntabilitas serta perbaikan kebijakan yang efektif.
Namun semua masalah ini bukan tanpa solusi. Dengan pendekatan terintegrasi-menguatkan kapasitas manusia, membangun sistem data yang terstandarisasi, memperbaiki mekanisme koordinasi, mengalokasikan dana untuk evaluasi, serta memperkuat transparansi dan partisipasi publik-LAKIP dapat berubah menjadi alat strategis. Investasi awal pada pelatihan, infrastruktur TI, dan proses kerja yang terstruktur akan memberikan dividend besar: keputusan publik lebih berbasis bukti, penggunaan anggaran lebih efisien, dan layanan publik lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Akhirnya, keberhasilan perbaikan bergantung pada komitmen kepemimpinan daerah. Bila kepala daerah menjadikan akuntabilitas dan pembelajaran institusional sebagai prioritas, budaya kerja berubah, dan LAKIP akan menjadi peta jalan nyata bagi pembangunan daerah yang lebih efektif, transparan, dan berkelanjutan.