Pendahuluan — Kenapa Serapan Anggaran Penting
Setiap tahun pemerintah pusat dan daerah menganggarkan puluhan hingga ratusan triliun rupiah untuk pembangunan: bangun jalan, sekolah, puskesmas, program bantuan sosial, hingga proyek kecil seperti perbaikan jembatan desa. Ada satu ukuran sederhana untuk menilai apakah anggaran itu berjalan: serapan anggaran. Kalau uangnya cepat dibelanjakan pada kegiatan yang bermanfaat, masyarakat merasakan hasilnya. Kalau lambat, proyek tertunda, layanan publik kacau, dan potensi korupsi meningkat.
Namun kenyataannya banyak daerah setiap tahun sulit menyerap anggaran tepat waktu. Anggaran yang “ngendon” (tidak terpakai) bukan hanya soal angka — itu soal keluarga yang menunggu perbaikan jalan agar anaknya bisa sekolah, petani yang menunggu irigasi, dan pelaku UMKM yang membutuhkan pasar lokal. Ketika serapan lambat, program-program prioritas jadi molor; biaya bisa membengkak karena inflasi atau kontraktor yang sudah terikat harus dibayar lebih mahal.
Dalam bahasa sederhana: anggaran itu janji. Jika janji tidak ditepati karena proses pengadaan yang berbelit, banyak orang yang dirugikan. Artikel ini mencoba membedah satu penyebab besar keterlambatan itu: masalah pengadaan barang dan jasa di pemerintah daerah. Kita akan lihat akar masalahnya dari sudut yang mudah dipahami — mulai dari dokumen sampai orang yang mengerjakannya, sampai solusi yang bisa dilakukan tanpa perlu jargon teknis.
Kisah Warga: Proyek Terlambat, Hidup Jadi Susah
Sebelum bicara aturan dan dokumen, mari mulai dari cerita paling sederhana dan paling menyakitkan: warga yang menderita karena proyek molor. Bayangkan sebuah desa yang harusnya mendapat jembatan kecil agar anak-anak tidak harus menyeberang sungai saat hujan. Jembatan itu sudah dianggarkan, namun tahun demi tahun pengerjaan mundur karena tender yang batal, dokumen belum lengkap, atau tidak ada pelamar yang sesuai. Akibatnya, anak-anak menempuh jalur lebih jauh, biaya sekolah naik, dan ekonomi lokal terganggu.
Cerita semacam ini muncul di banyak daerah: renovasi puskesmas yang mundur sehingga fasilitas kesehatan tetap minim; pembangunan pasar yang terhambat sehingga pedagang kecil kehilangan kesempatan menjual; program bantuan modal usaha yang tertunda karena verifikasi data calon penerima lama. Bukan jarang juga kepala desa yang sudah capai target administrasi, namun tetap tak kunjung dapat pencairan karena proses pengadaan di level kabupaten atau provinsi belum selesai.
Kisah warga membuat masalah pengadaan tidak abstrak. Ini masalah waktu, komunikasi, dan kepercayaan. Warga tak peduli dengan istilah “evaluasi teknis” atau “kualifikasi vendor”; mereka ingin bukti nyata: jalan yang bisa dilewati, air bersih yang mengalir, lampu jalan yang menyala. Jika proses pengadaan berbelit-belit, rasa frustrasi itu memuncak. Selain itu, ketika dana di akhir tahun tersisa dan terburu-buru dibelanjakan, kualitas proyek sering menurun karena panik memilih penyedia tidak tepat. Itu juga berbahaya: hasil pekerjaan cepat tapi tidak bagus, yang akhirnya menguras anggaran lagi untuk perbaikan.
Dengan cerita nyata di depan mata, kita bisa memandang pengadaan bukan sekadar aturan, tetapi sebagai urat nadi pelayanan publik. Karena itu, solusi harus praktis dan dekat dengan kebutuhan warga — bukan hanya perbaikan tata kelola administrasi di atas kertas.
Bagaimana Pengadaan Bisa Menghambat Serapan Anggaran
Pengadaan barang dan jasa adalah proses membeli pekerjaan, barang, atau jasa untuk menjalankan program pemerintah. Sederhananya: pemerintah butuh sesuatu → disusun rencana → ditenderkan → dipilih penyedia → dikerjakan → dibayar. Masalah muncul di banyak titik dalam rantai ini.
- Perencanaan yang tidak matang. Seringkali anggaran ditetapkan tanpa perencanaan teknis yang jelas: gambar lapangan kurang rinci, spesifikasi barang tidak lengkap, atau anggaran diestimasi asal-asalan. Hasilnya tender gagal karena dokumen tidak memadai, atau ada keberatan dari penyedia.
- Birokrasi dan aturan yang rumit. Proses administrasi pajak, verifikasi dokumen persyaratan, dan beragam tahapan evaluasi memakan waktu. Jika petugas daerah belum terlatih, proses ini makin lambat.
- Masalah pasar. Di beberapa daerah sulit mencari penyedia lokal yang mampu, atau perusahaan besar enggan ikut karena nilai proyek kecil. Ketika hanya sedikit peserta tender, proses harus diulang agar kompetisi sehat — dan itu menunda pencairan.
- Kesalahan prosedur administratif: misal satu dokumen hilang, maka seluruh tender ditunda.
- Kendala teknis seperti sinkronisasi sistem keuangan dan sistem pengadaan elektronik; kalau sistem sering down atau petugas belum paham, tender mandek.
Kombinasi faktor ini menjelaskan mengapa pada akhir tahun banyak anggaran masih tersisa: bukan karena dana tak dibutuhkan, melainkan karena proses pengadaan membuatnya tak bisa digunakan tepat waktu. Dampaknya bukan hanya proyek terlambat, tapi ada biaya sampingan: peluang kerja hilang, kredibilitas pemerintah turun, dan pada kondisi tertentu anggaran yang tak terserap berisiko dipotong di tahun berikutnya karena dianggap tidak prioritas.
Memahami titik-titik lemah ini penting agar solusi bisa ditargetkan: apakah perbaikan sistem, pelatihan SDM, atau perubahan kebijakan agar pembelian cepat dan tepat sasaran.
Alur Pengadaan yang Sering Membingungkan
Kalau kita perhatikan alur pengadaan dari perspektif orang awam, terlihat seperti banyak sekali “titik pemeriksaan” yang tampak berulang. Ada dokumen perencanaan, kajian harga, lelang, evaluasi teknis, verifikasi administrasi, penetapan pemenang, masa sanggah, kontrak, hingga pembayaran. Pada tiap langkah itu bisa muncul hambatan.
Contoh nyata: dokumen perencanaan idealnya memuat gambar teknik, RAB (rencana anggaran biaya), dan waktu pelaksanaan. Namun di lapangan seringkali RAB dibuat terlalu ringkas atau menggunakan harga pasar yang out-of-date. Ketika harga di pasar naik, penyedia yang menang mengajukan revisi atau bahkan menolak menandatangani kontrak. Ketika kontrak tak jadi, dana kembali ke kas daerah dan harus dilakukan proses ulang.
Proses sanggah (protest period) juga sering memanjang. Ini adalah waktu yang diberikan agar peserta tender yang kalah bisa mengajukan keberatan. Tujuannya bagus untuk transparansi, namun bila mekanismenya dipakai berkali-kali dengan alasan yang sama, itu menunda pelaksanaan proyek berbulan-bulan. Selain itu, ada pula masalah teknis penggunaan sistem aplikasi pengadaan elektronik. Di beberapa daerah petugas masih bergantung pada dokumen kertas dan belum nyaman dengan sistem online — ketika harus migrasi tiba-tiba, ada jeda adaptasi yang mengganggu ritme kerja.
Untuk warga, semua itu terlihat sebagai “proses yang lama”. Namun untuk petugas, ada tekanan: atasan ingin cepat, aturan mengharuskan teliti, tapi sumber daya manusia terbatas. Formula sederhana untuk mempercepat adalah: perencanaan lebih baik + aturan yang relevan + SDM terlatih + penggunaan pasar yang sesuai. Tanpa salah satu komponen itu, alur pengadaan cenderung macet.
Keterbatasan SDM: Orang yang Menjalankan Sistem
Di balik dokumen dan aplikasi, ada orang. Banyak daerah menghadapi masalah klasik: staf yang menangani pengadaan pekerjaannya ganda (bukan full time), belum punya pelatihan memadai, atau sering berganti karena mutasi. Ketika staf pengadaan tidak fokus atau belum paham seluk-beluk, proses administrasi mudah salah dan memakan waktu lebih lama.
Di desa atau kabupaten kecil, satu orang mungkin mengurus belasan paket pekerjaan sekaligus — dari perawatan jalan, pengadaan alat kesehatan, hingga pembangunan drainase. Beban kerja seperti ini membuat mereka tertekan sehingga detail penting terlewat, misal kesalahan input data pada sistem elektronik, atau dokumen yang tidak lengkap saat masa evaluasi. Akibatnya tender gagal dan harus diulang.
Selain itu, mindset juga berpengaruh. Saat pelatihan hanya sebatas “cara mengoperasikan aplikasi” tanpa pembahasan kasus nyata, petugas sulit menangani masalah kompleks seperti negoisasi harga, evaluasi kualitas penawaran, atau penyusunan spesifikasi yang masuk akal. Rekrutmen atau kerja sama dengan tenaga ahli eksternal seringkali terhambat anggaran, sehingga daerah lebih memilih menunggu—padahal sewa konsultan singkat sering lebih murah dibanding menunda proyek setahun.
Investasi pada SDM — pelatihan, sertifikasi dasar, mentoring dari pusat atau provinsi, serta rotasi yang masuk akal — terbukti mempercepat serapan anggaran. Ketika orang lebih percaya diri mengelola proses tender, kesalahan administrasi berkurang dan waktu penyelesaian tender menyusut. Ini bukan soal mengganti aturan, tapi soal memberi kemampuan pada mereka yang menjalankan aturan itu.
Peran Vendor dan Pasar Lokal
Pengadaan tidak bisa berjalan sendiri; ia butuh pasar, yaitu penyedia barang dan jasa. Di beberapa daerah, masalah muncul karena tidak ada cukup penyedia lokal yang memenuhi syarat. Perusahaan besar enggan ikut tender kecil, sementara usaha kecil lokal belum siap karena kapasitas teknis atau perizinan belum lengkap.
Ketika peserta tender sedikit, aturan mengharuskan melelang ulang untuk memastikan kompetisi dan harga wajar. Ini bagus untuk menghindari praktik curang. Namun di sisi lain, melelang ulang berulang kali menyebabkan proyek tertunda. Solusi seharusnya fleksibel: misalnya membuka peluang bagi konsorsium usaha kecil atau menyederhanakan persyaratan untuk paket-paket kecil yang memang tidak membutuhkan kemampuan besar.
Vendor juga terkadang takut ikut karena pengalaman buruk: pembayaran terlambat, klaim biaya rumit, atau proyek yang akhirnya dibatalkan. Reputasi pembayaran adalah kunci. Jika pemerintah daerah menjadi pembayar yang andal, lebih banyak penyedia mau ikut. Selain itu, program memfasilitasi pelatihan bagi penyedia lokal agar naik kelas (misal soal manajemen proyek sederhana, administrasi pajak, atau standar kualitas dasar) akan memperluas basis penyedia.
Untuk proyek-proyek yang sifatnya segera dan berdampak langsung pada masyarakat, ada juga opsi pembelian langsung (direct purchase) dengan nilai kecil, atau paket gabungan yang disesuaikan supaya usaha mikro dapat berpartisipasi. Intinya, menghidupkan pasar lokal sekaligus menjaga prinsip persaingan sehat adalah kunci supaya pengadaan berjalan lancar dan serapan anggaran meningkat.
Perencanaan Anggaran yang Tidak Realistis
Sering kita lihat anggaran dibuat di awal tahun dengan target ambisius: banyak proyek dinyatakan prioritas, padahal kapasitas pelaksana di daerah terbatas. Perencanaan anggaran yang tidak realistis ini muncul karena beberapa sebab: tekanan politik (ingin banyak program terlihat), kurangnya data riil di lapangan, atau perencanaan yang dibuat terburu-buru tanpa melibatkan teknisi lokal.
Konsekuensinya, dokumen Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) penuh proyek yang tidak punya kesiapan teknis. Ketika tender dibuka, bukannya banyak penyedia yang minat, malah tidak ada yang memenuhi persyaratan, atau harga penawaran melebihi perkiraan. Akhirnya anggaran tidak terserap karena proyek harus ditunda, diubah lagi, atau dipotong.
Perbaikan perencanaan sederhana dan praktis: lakukan survei lapangan sebelum anggaran ditetapkan; libatkan kepala unit teknis, bukan hanya staf perencanaan; gunakan harga acuan lokal agar estimasi realistis; dan tetapkan prioritas yang jelas—mana yang harus selesai tahun itu, mana yang bisa ditunda. Prioritas realistis memperbesar peluang serapan karena proyek yang benar-benar siap dilaksanakan lebih cepat tender dan kontrak.
Selain itu, budaya revisi yang sehat juga diperlukan. Jika ada tanda-tanda ketidaksesuaian harga dan kondisi pasar, mekanisme revisi RKA yang cepat dan transparan bisa menyelamatkan proyek tanpa harus menunggu akhir tahun.
Dampak Langsung pada Layanan Publik dan Pembangunan
Dampak lambatnya serapan anggaran terasa nyata. Fasilitas publik molor, pelayanan kesehatan terganggu, sekolah tidak lengkap, jalan rusak tetap menimbulkan biaya transportasi tinggi bagi warga. Ketika pembangunan rutin tertunda, kualitas hidup stagnan. Lebih jauh, penundaan proyek dapat memicu biaya tambahan: kontraktor meminta revisi harga karena inflasi, peralatan menunggu lebih lama sehingga rusak, dan upaya perbaikan mendesak memakan biaya ekstra.
Ada juga dampak non-materiil: berkurangnya kepercayaan warga terhadap pemerintah lokal. Jika janji pembangunan tidak ditepati, partisipasi masyarakat dalam program baru berkurang. Di sisi lain, penumpukan anggaran akhir tahun sering mendorong belanja terburu-buru tanpa analisis matang—hasilnya proyek berkualitas rendah yang harus diperbaiki lagi di tahun berikutnya. Siklus ini merugikan anggaran jangka panjang.
Untuk ekonomi lokal, keterlambatan proyek berarti peluang kerja hilang. Proyek infrastruktur biasanya menyerap tenaga kerja lokal untuk jangka pendek; jika proyek tertunda, pendapatan warga menurun. Usaha mikro yang mengandalkan proyek pemerintah—misal sebagai subkontraktor atau pemasok—juga mengalami ketidakpastian.
Menangani masalah ini bukan hanya soal efisiensi fiskal. Ini soal keadilan layanan publik: warga berhak mendapat hasil anggaran yang sudah dijanjikan. Oleh karena itu mempercepat serapan anggaran melalui perbaikan pengadaan adalah intervensi yang langsung berdampak pada kesejahteraan masyarakat.
Langkah Praktis yang Bisa Dilakukan Daerah
Perbaikan bisa dimulai dari langkah sederhana dan terukur, tanpa perlu menunggu kebijakan besar.
- Perkuat perencanaan: lakukan survei kebutuhan lapangan sebelum RKA final, tabelkan prioritas, dan gunakan harga pasar lokal.
- Bangun kapasitas SDM: pelatihan rutin untuk staf pengadaan, pendampingan saat masa transisi ke sistem elektronik, dan skema mentoring oleh provinsi atau pusat.
- Hidupkan pasar lokal: fasilitasi pelatihan bagi usaha mikro agar memenuhi syarat administratif, dorong pembentukan konsorsium untuk proyek kecil, dan jaga reputasi pembayaran agar vendor percaya.
- Sederhanakan paket pengadaan yang kecil agar tidak mematikan partisipasi UMKM—paket kecil dengan syarat wajar akan cepat kontrak dan berjalan.
- Tata ulang mekanisme sanggah: pastikan ada aturan waktu yang tegas untuk penyampaian keberatan dan putusan cepat. Jika perlu, buat unit mediasi cepat di provinsi untuk kasus-kasus berulang.
- Gunakan teknologi dengan bijak: sistem pengadaan elektronik cepat membantu, tetapi harus disertai pelatihan dan backup offline agar tidak mandek saat ada masalah teknis.
- Monitoring real time: dashboard sederhana yang menunjukkan status tender, kontrak, dan pembayaran bisa membantu pimpinan mengambil keputusan cepat.
- Libatkan masyarakat: publikasi rencana dan progres proyek membuat tekanan sosial positif sehingga pengelola daerah terdorong bekerja lebih cepat dan transparan.
Contoh Sederhana Implementasi yang Berhasil
Beberapa daerah sudah mencoba langkah-langkah praktis dan menuai hasil. Misalnya, sebuah kabupaten memprioritaskan paket-paket kecil seperti perbaikan jalan desa dan memasukkan persyaratan yang sesuai bagi usaha lokal. Mereka melakukan pra-kualifikasi usaha kecil sehingga saat tender dibuka, banyak peserta yang siap. Hasilnya proyek berjalan cepat dan tenaga kerja lokal terserap.
Di tempat lain, pemerintah daerah menempatkan satu staf khusus pengadaan yang fokus penuh (bukan rangkap tugas). Dengan satu orang yang bertanggung jawab penuh, proses lelang jadi teratur, dokumen rapi, dan komunikasi dengan vendor lebih cepat. Langkah kecil ini memang memerlukan biaya operasional, namun dibandingkan dengan biaya penundaan proyek—banyak kali lebih besar—investasi itu sangat layak.
Contoh ketiga adalah penggunaan dashboard publik. Satu kabupaten membuat halaman sederhana yang menampilkan paket pengadaan: status lelang, pemenang, dan progres pembayaran. Transparansi ini menurunkan keluhan publik dan mendorong pihak internal bekerja lebih disiplin karena semua pihak bisa melihat statusnya.
Dari contoh-contoh ini terlihat pola umum: fokus pada kesiapan, kapasitas orang, pasar lokal, dan transparansi. Perubahan besar tidak selalu perlu aturan baru; seringkali kombinasi tindakan kecil dan konsisten lebih efektif.
Kesimpulan dan Pesan untuk Pembuat Kebijakan
Permasalahan lambat serap anggaran sering dikaitkan dengan istilah teknis, namun akar sebenarnya sederhana: perencanaan kurang matang, proses pengadaan rumit, SDM yang kewalahan, pasar yang belum siap, dan kadang keputusan yang lebih mengutamakan prosedur daripada hasil. Dampaknya nyata: warga kehilangan layanan, peluang kerja hilang, dan anggaran efektif berkurang.
Solusi praktis tersedia: perencanaan berbasis lapangan, pelatihan SDM, membuka ruang bagi usaha lokal, mempercepat mekanisme sanggah, serta menerapkan alat monitoring yang sederhana. Kebijakan tingkat pusat juga bisa membantu dengan fleksibilitas aturan untuk paket kecil dan program pendampingan bagi daerah yang kekurangan kapasitas.
Pesan terakhir untuk pembuat kebijakan dan pimpinan daerah: anggaran adalah janji kepada rakyat. Jangan biarkan janji itu macet di meja karena proses yang berbelit. Mulailah dari langkah-langkah praktis yang dapat diterapkan hari ini—melibatkan teknisi, mempermudah paket kecil, dan menegakkan reputasi pembayaran—karena manfaatnya langsung terasa di lapangan. Jika kita memperlakukan pengadaan sebagai alat untuk melayani, bukan hanya sebagai kewajiban administratif, serapan anggaran akan meningkat dan manfaat pembangunan dapat segera dinikmati masyarakat.