Fungsi DPRD dalam Menyusun dan Mengawasi APBD

Pendahuluan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) memiliki peran strategis dan krusial dalam mekanisme penyusunan serta pengawasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sebagai wakil rakyat di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota, DPRD bertugas memastikan bahwa penggunaan sumber daya keuangan daerah dilakukan secara efisien, efektif, transparan, dan akuntabel. Melalui fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan, DPRD menjadi mitra sejajar pemerintah daerah untuk menyusun kebijakan fiskal yang pro-rakyat serta mengawal pelaksanaannya agar memberi dampak positif bagi kesejahteraan masyarakat. Artikel sepanjang 2000 kata ini akan mengungkap secara mendalam peran DPRD dalam setiap tahapan penyusunan APBD, mekanisme pengawasan, tantangan yang dihadapi, dan rekomendasi untuk memperkuat kapasitas DPRD dalam fungsi anggaran.

1. Landasan Konstitusional dan Hukum DPRD dalam APBD

Fungsi dan kewenangan DPRD dalam siklus Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tidak berdiri sendiri, melainkan memiliki dasar hukum yang kokoh dari tingkat konstitusi hingga regulasi teknis. Pemahaman terhadap landasan ini penting untuk menegaskan bahwa DPRD bukan sekadar lembaga pelengkap, tetapi aktor utama dalam memastikan keuangan daerah dikelola secara demokratis, transparan, dan bertanggung jawab.

1.1. UUD 1945 dan Tap MPR

Kedudukan DPRD sebagai lembaga legislatif daerah dijamin dalam Pasal 18 Ayat (3) dan (4) UUD 1945, yang menyatakan bahwa “Pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.” Ini berarti bahwa DPRD merupakan representasi langsung dari kedaulatan rakyat di tingkat lokal. Selanjutnya, melalui Tap MPR Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi, ditegaskan pentingnya demokratisasi di daerah, termasuk penguatan peran DPRD dalam menyusun kebijakan pembangunan, termasuk penganggaran daerah.

Tap ini mendorong daerah untuk tidak sekadar menjalankan mandat administratif dari pusat, tetapi juga memiliki otonomi dalam menyusun anggaran berdasarkan prioritas lokal. Dengan kata lain, prinsip bottom-up budgeting menjadi semangat dasar, di mana aspirasi masyarakat dari musrenbang akan difasilitasi dan diformalkan dalam APBD melalui pembahasan bersama DPRD.

1.2. UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-undang ini menjadi acuan utama dalam memahami fungsi DPRD secara menyeluruh. Dalam Pasal 149 UU No. 23 Tahun 2014, disebutkan bahwa DPRD memiliki tiga fungsi utama: legislasi, anggaran, dan pengawasan. Pada aspek anggaran, DPRD memiliki kewenangan yang sangat strategis, yaitu:

  • Memberikan persetujuan terhadap rancangan kebijakan umum APBD (KUA) dan prioritas serta plafon anggaran sementara (PPAS),
  • Membahas dan menyetujui rancangan APBD yang diajukan oleh kepala daerah,
  • Menyetujui perubahan APBD (P-APBD) bila terjadi dinamika fiskal.

Ini menunjukkan bahwa DPRD tidak hanya “menyetujui” anggaran, tetapi juga terlibat aktif dalam menyusun kerangka anggaran sejak awal. Keterlibatan DPRD ini berfungsi sebagai checks and balances terhadap perencanaan eksekutif agar tidak terjadi pemborosan, korupsi, atau ketidaktepatan sasaran program.

1.3. PP dan Permendagri tentang Keuangan Daerah

Implementasi teknis dari fungsi DPRD dalam APBD dituangkan secara rinci dalam Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Regulasi ini mengatur bagaimana proses perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, hingga pertanggungjawaban APBD dilakukan. Dalam seluruh siklus ini, DPRD menjadi institusi yang wajib dilibatkan untuk memberikan persetujuan atau catatan atas keputusan-keputusan strategis kepala daerah.

Selain itu, Permendagri No. 27 Tahun 2021 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2022 (dan peraturan sejenis untuk tahun-tahun berikutnya) memberikan pedoman tahunan yang digunakan DPRD dan pemerintah daerah dalam merancang struktur anggaran yang responsif terhadap isu aktual. Melalui aturan-aturan ini, DPRD tidak hanya dipandu secara normatif, tetapi juga didorong untuk aktif menggunakan data dan proyeksi makro dalam menilai kelayakan anggaran.

2. Fungsi Legislatif DPRD dalam Penyusunan APBD

Fungsi legislatif DPRD dalam konteks anggaran tidak berhenti pada pengesahan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) APBD, tetapi dimulai sejak awal proses penyusunan dan berlangsung hingga pengawasan pelaksanaannya. Peran ini menuntut kemampuan analitis, integritas, dan pemahaman teknis dari setiap anggota dewan, sebab keputusan anggaran yang mereka hasilkan akan berdampak langsung pada kehidupan masyarakat.

2.1. Penyusunan Kebijakan Umum Anggaran (KUA)

KUA adalah dokumen penting yang menjadi kerangka awal dalam penyusunan APBD. Dalam proses ini, DPRD duduk sejajar dengan kepala daerah dalam merumuskan gambaran umum kondisi ekonomi makro daerah, target pendapatan, belanja, serta defisit atau surplus anggaran. Melalui rapat paripurna dan forum Badan Anggaran (Banggar), DPRD memberikan pandangan dan masukan terhadap arah kebijakan fiskal daerah.

Di sinilah DPRD mengedepankan visi politik anggaran yang pro-rakyat. DPRD dapat mendorong agar alokasi anggaran lebih berpihak pada pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, serta menghindari belanja yang bersifat seremonial atau tidak memberikan manfaat langsung. Oleh karena itu, partisipasi aktif DPRD dalam penyusunan KUA merupakan indikator sejauh mana dewan memahami kondisi daerah dan aspirasi masyarakat.

2.2. Pembahasan dan Pagu Anggaran Sementara (PPAS)

Setelah KUA disepakati, langkah selanjutnya adalah menyusun dan menyepakati Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS). Pada tahap ini, DPRD melalui Banggar melakukan analisis mendalam terhadap setiap pengajuan anggaran dari masing-masing SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah). DPRD menilai apakah plafon anggaran yang diajukan realistis, sejalan dengan target kinerja, dan selaras dengan prioritas pembangunan yang telah disepakati dalam dokumen perencanaan seperti RPJMD dan RKPD.

Proses ini memerlukan kecermatan, sebab di sinilah potensi pemborosan atau ketidakefisienan anggaran bisa diidentifikasi. DPRD tidak segan memberikan koreksi atau merekomendasikan efisiensi belanja, serta memastikan bahwa anggaran tidak dialokasikan untuk program yang tumpang tindih atau tidak jelas indikator keberhasilannya. Dalam konteks ini, DPRD menjalankan perannya sebagai wakil rakyat yang memastikan setiap rupiah yang dibelanjakan memiliki dampak nyata bagi kesejahteraan publik.

2.3. Pengesahan Rancangan APBD

Tahap akhir dari proses penyusunan adalah pengesahan Raperda APBD menjadi Perda APBD. Proses ini diawali dengan pengajuan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah oleh kepala daerah kepada DPRD. Selanjutnya, DPRD melakukan pembahasan secara formal dalam dua tahap:

  • Tingkat I: pembacaan nota keuangan, penyampaian pandangan umum fraksi, tanggapan pemerintah daerah, dan penyampaian hasil pembahasan di komisi-komisi.
  • Tingkat II: pengambilan keputusan dalam sidang paripurna untuk menyetujui atau menolak Raperda APBD.

Pengesahan ini bukan sekadar formalitas administratif, tetapi merupakan titik kulminasi dari proses panjang yang menunjukkan sinergi antara eksekutif dan legislatif. Melalui keputusan DPRD, anggaran menjadi sah secara hukum dan dapat digunakan untuk mendanai program dan kegiatan pembangunan di daerah.

DPRD juga dapat menyampaikan catatan strategis, rekomendasi teknis, atau klausul pengawasan untuk memastikan bahwa APBD yang disahkan benar-benar dijalankan sesuai dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan hasil yang terukur. Jika pada proses ini ditemukan hal-hal yang melanggar peraturan atau tidak sejalan dengan aspirasi masyarakat, DPRD berhak menolak pengesahan hingga terjadi perbaikan substansi.

3. Fungsi Anggaran: Mitigasi, Prioritas, dan Akuntabilitas

Dalam konteks keuangan daerah, DPRD memainkan peran vital sebagai penjaga moral dan teknis atas penyusunan serta alokasi anggaran. Fungsi anggaran yang diemban oleh DPRD tidak sebatas pada menyetujui atau menolak usulan dari eksekutif, tetapi mencakup pengujian terhadap rasionalitas belanja, proporsionalitas antar sektor, serta keberpihakan anggaran terhadap masyarakat rentan. Tiga hal utama yang menjadi fondasi fungsi anggaran DPRD adalah penentuan prioritas, pengawasan terhadap pendapatan asli daerah, dan integrasi dengan dokumen perencanaan jangka menengah serta sektoral.

3.1. Penentuan Prioritas Anggaran

Melalui pembahasan APBD dan dokumen pendukungnya, DPRD dapat memastikan bahwa anggaran daerah mencerminkan kebutuhan nyata masyarakat. Di tengah keterbatasan fiskal, DPRD berperan menyeimbangkan antara program pembangunan fisik dan non-fisik, serta mendorong keberpihakan pada kelompok miskin, perempuan, penyandang disabilitas, dan daerah tertinggal dalam wilayah kabupaten/kota. Dalam praktiknya, DPRD menyuarakan aspirasi warga agar anggaran pendidikan, kesehatan dasar, serta infrastruktur jalan dan sanitasi mendapat porsi memadai. Melalui forum Badan Anggaran, prioritas anggaran ini dirumuskan dengan mempertimbangkan target RPJMD, tren serapan tahun sebelumnya, serta daya ungkit terhadap pertumbuhan lokal.

3.2. Pengawal Pajak dan Retribusi Daerah

Selain pada sisi belanja, DPRD juga memiliki tanggung jawab mengawasi sisi pendapatan daerah. Dalam hal ini, DPRD aktif menelaah dan mengevaluasi target serta capaian Pendapatan Asli Daerah (PAD), termasuk dari sektor pajak daerah, retribusi jasa umum, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, serta lain-lain pendapatan sah. DPRD meminta laporan secara berkala dari Bapenda atau dinas terkait, untuk memastikan bahwa potensi pajak dan retribusi tidak bocor, dimanfaatkan secara optimal, dan tidak memberatkan masyarakat kecil. Evaluasi tarif pajak, penyesuaian mekanisme pungutan, serta penyempurnaan regulasi pendapatan sering kali diprakarsai oleh DPRD berdasarkan dinamika lokal.

3.3. Integrasi dengan Dokumen Perencanaan Lainnya

Salah satu tanggung jawab strategis DPRD adalah menjaga agar APBD tidak berjalan di luar koridor rencana pembangunan jangka menengah maupun tata ruang. Oleh karena itu, DPRD melakukan penyesuaian APBD terhadap RPJMD, Rencana Strategis (Renstra) SKPD, dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Hal ini dilakukan untuk memastikan tidak terjadi belanja yang sia-sia atau tumpang tindih fungsi. DPRD juga berperan memastikan bahwa program lintas sektor-misalnya antara pendidikan dan ketenagakerjaan, atau antara pertanian dan infrastruktur-berjalan sinergis melalui anggaran yang komplementer.

4. Fungsi Pengawasan DPRD terhadap Pelaksanaan APBD

DPRD memiliki tanggung jawab tidak hanya dalam menyusun dan mengesahkan anggaran, tetapi juga dalam mengawasi pelaksanaannya agar sesuai rencana dan tidak menyimpang dari prinsip akuntabilitas publik. Fungsi pengawasan DPRD berlangsung sepanjang tahun anggaran, melalui mekanisme formal maupun kunjungan lapangan. Tujuannya adalah untuk mencegah kebocoran anggaran, memastikan capaian output dan outcome program, serta mengevaluasi kinerja perangkat daerah.

4.1. Pengawasan Preventif melalui Rancangan Regulasi

Sebagai pembentuk peraturan daerah, DPRD dapat mengusulkan atau menyetujui Perda yang memperkuat sistem pengelolaan keuangan yang berintegritas. Misalnya, Perda tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Daerah (SAKIP), Perda Tata Cara Pengadaan Barang dan Jasa, atau Perda tentang Pelaporan Keuangan Berkala. Peraturan-peraturan tersebut berfungsi sebagai pagar administratif agar OPD tidak menyimpang dari koridor hukum dalam melaksanakan APBD. Dengan demikian, pengawasan sudah dimulai sebelum pelaksanaan anggaran dimulai.

4.2. Monitoring dan Evaluasi Berkala

Monitoring dilakukan secara sistematis melalui komisi-komisi di DPRD, Panitia Khusus (Pansus), maupun Badan Anggaran. DPRD mengundang kepala OPD untuk mengikuti rapat dengar pendapat (RDP), menyampaikan laporan realisasi anggaran, serta menjawab pertanyaan-pertanyaan teknis dari anggota dewan. Evaluasi dilakukan setiap triwulan, semester, dan akhir tahun anggaran, terutama terhadap capaian output, deviasi serapan anggaran, dan hambatan pelaksanaan. Di akhir tahun, DPRD menerima dan membahas Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) dari kepala daerah.

4.3. Pengawasan Lapangan dan Inspeksi

Sebagai wujud nyata dari pengawasan, anggota DPRD kerap melakukan kunjungan kerja ke lapangan (inspeksi) untuk melihat secara langsung implementasi proyek fisik maupun kegiatan sosial. Dalam kunjungan tersebut, DPRD mencocokkan antara dokumen perencanaan dan kondisi lapangan, termasuk kualitas pekerjaan, keterlibatan masyarakat, dan manfaat kegiatan bagi warga. Jika ditemukan ketidaksesuaian, DPRD menyusun laporan pengawasan dan menyampaikan rekomendasi dalam forum paripurna.

4.4. Penyusunan Laporan dan Rekomendasi

Hasil dari seluruh pengawasan ini disusun dalam laporan resmi DPRD yang disampaikan kepada kepala daerah sebagai bahan perbaikan. Rekomendasi tersebut mencakup aspek teknis, manajerial, maupun kebijakan, seperti peningkatan efektivitas program, perbaikan sistem monitoring, serta penguatan kapasitas SDM pelaksana. Rekomendasi DPRD menjadi instrumen korektif yang sah untuk meningkatkan kualitas pengelolaan keuangan daerah di tahun anggaran berikutnya.

5. Peran Komisi dan Badan Anggaran DPRD

Struktur internal DPRD dibentuk untuk memperkuat fungsi representatif dan fungsional lembaga legislatif ini. Dua organ penting dalam konteks penyusunan dan pengawasan anggaran adalah komisi-komisi dan Badan Anggaran (Banggar). Pembagian tugas dan spesialisasi fungsi ini memungkinkan pengawasan dan pembahasan anggaran dilakukan secara lebih mendalam, terfokus, dan akuntabel.

5.1. Komisi-komisi DPRD

Komisi merupakan alat kelengkapan DPRD yang bertugas menangani sektor-sektor tertentu secara fungsional. Umumnya, DPRD memiliki empat komisi:

  • Komisi I: Pemerintahan, hukum, dan keamanan
  • Komisi II: Ekonomi dan keuangan
  • Komisi III: Infrastruktur dan pembangunan
  • Komisi IV: Kesejahteraan rakyat (pendidikan, kesehatan, sosial)

Setiap komisi bertugas menelaah program dan anggaran yang menjadi lingkup sektor mereka, termasuk mengadakan RDP dengan dinas terkait, meninjau dokumen perencanaan, serta menyampaikan laporan dan rekomendasi kepada pimpinan DPRD. Komisi juga menjadi aktor utama dalam melakukan pengawasan kinerja OPD yang sesuai bidangnya.

5.2. Badan Anggaran (Banggar)

Banggar merupakan tulang punggung DPRD dalam menyusun dan membahas anggaran secara menyeluruh. Tugas Banggar meliputi menyusun jadwal pembahasan APBD, menyusun KUA-PPAS bersama TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah), melakukan simulasi fiskal terhadap struktur pendapatan dan belanja, serta memberikan saran strategis untuk optimalisasi PAD. Banggar juga berwenang menyetujui pergeseran anggaran antar program, menilai kelayakan belanja modal, dan mengevaluasi capaian anggaran tahun sebelumnya. Kinerja Banggar sangat menentukan arah dan kualitas kebijakan fiskal daerah, sebab mereka menjadi penyeimbang utama terhadap usulan eksekutif.

6. Tantangan dan Solusi dalam Fungsi DPRD terhadap APBD

6.1. Tantangan

Dalam praktiknya, meskipun secara normatif DPRD memiliki tiga fungsi utama-legislasi, anggaran, dan pengawasan-pelaksanaan fungsi tersebut, khususnya dalam konteks pengelolaan dan pengawasan APBD, kerap menemui sejumlah tantangan yang tidak dapat dipandang remeh. Salah satu tantangan terbesar adalah keterbatasan kapasitas anggota DPRD dalam hal analisis anggaran teknis. Banyak anggota legislatif daerah yang berasal dari latar belakang non-teknis atau tidak memiliki pengalaman langsung dalam hal perencanaan keuangan, ekonomi publik, atau teknik penyusunan dokumen anggaran. Akibatnya, proses pembahasan KUA-PPAS hingga Raperda APBD sering kali tidak dilakukan dengan pendekatan teknokratik yang mendalam, melainkan cenderung bersifat politis dan normatif.

Tantangan berikutnya adalah dominasi eksekutif dalam penyediaan data dan informasi anggaran. Dalam banyak kasus, pemerintah daerah melalui tim anggaran eksekutif menjadi satu-satunya sumber utama data dan proyeksi fiskal. Hal ini menciptakan ketergantungan tinggi dari DPRD terhadap data yang disediakan oleh pihak eksekutif, sehingga mengurangi daya kritis dan otonomi legislatif dalam mengevaluasi keabsahan asumsi anggaran atau menilai kelayakan alokasi. Dalam sistem ideal, legislatif harus memiliki mekanisme verifikasi silang dan unit pendukung teknis yang mandiri, seperti badan riset anggaran (budget research unit), namun kenyataannya di banyak daerah unit semacam ini belum tersedia secara optimal.

Selain dua tantangan di atas, rendahnya partisipasi publik dalam proses anggaran juga menjadi isu krusial. Musrenbang, forum konsultasi publik, serta pembahasan RKA SKPD sering kali hanya dihadiri segelintir warga atau wakil masyarakat yang belum merepresentasikan suara kolektif. Akibatnya, banyak program yang tercantum dalam APBD tidak sepenuhnya mencerminkan kebutuhan lapangan, melainkan lebih menyesuaikan dengan program usulan dinas atau perencanaan makro. Keterbatasan akses informasi dan transparansi dokumen anggaran memperparah situasi ini, menyebabkan masyarakat menjadi apatis dan tidak terlibat secara aktif.

6.2. Solusi

Menghadapi kompleksitas tantangan tersebut, sejumlah solusi strategis perlu diadopsi oleh DPRD agar fungsi pengawasan dan penganggaran bisa dijalankan secara optimal. Solusi pertama adalah peningkatan kapasitas anggota DPRD melalui pelatihan intensif di bidang perencanaan keuangan daerah, teknik budgeting, serta evaluasi program berbasis kinerja. Pelatihan ini sebaiknya tidak bersifat umum, tetapi disesuaikan dengan isu aktual daerah, seperti pengelolaan Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), serta perhitungan Dana Bagi Hasil (DBH). Kolaborasi dengan lembaga pelatihan negara seperti LAN, BPKP, atau kampus dengan fakultas ekonomi dan administrasi publik perlu diperkuat agar materi yang disampaikan lebih aplikatif.

Solusi kedua adalah pemberdayaan kelembagaan teknis seperti Bappeda dan BPKAD agar menjadi penyedia data anggaran yang terbuka dan terpadu. Keduanya harus menyediakan dashboard data fiskal yang mudah diakses oleh DPRD dan masyarakat. Jika memungkinkan, sistem informasi anggaran berbasis digital seperti e-budgeting, SIPD, atau aplikasi lokal harus menampilkan proyeksi pendapatan, belanja, serta serapan anggaran secara real-time. Keberadaan data yang mudah diakses akan memperkuat fungsi kontrol legislatif terhadap potensi penyimpangan anggaran atau realisasi program yang tidak sesuai.

Solusi ketiga yang tidak kalah penting adalah penyusunan SOP konsultasi publik secara formal, disertai mekanisme “buka-bukaan” anggaran, terutama menjelang pembahasan RKA dan KUA-PPAS. SOP ini harus mencakup waktu publikasi dokumen perencanaan minimal 2 minggu sebelum dibahas, tata cara pengumpulan tanggapan masyarakat, hingga dokumentasi hasil konsultasi publik yang wajib menjadi lampiran dokumen pembahasan DPRD. Langkah ini tidak hanya akan memperkuat transparansi dan legitimasi dokumen anggaran, tetapi juga meningkatkan kualitas partisipasi masyarakat yang berbasis data dan kebutuhan nyata.

7. Rekomendasi untuk Penguatan Fungsi DPRD dalam APBD

Untuk memperkuat fungsi DPRD dalam pengelolaan dan pengawasan APBD ke depan, diperlukan serangkaian kebijakan dan inovasi kelembagaan yang berfokus pada peningkatan kapasitas, efisiensi proses, serta perluasan kolaborasi lintas sektor.

Pertama, peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) DPRD harus menjadi agenda prioritas. Salah satu bentuk konkritnya adalah pembentukan Sekolah Legislatif Daerah yang tidak hanya melatih anggota baru, tetapi juga menjadi wadah pembaruan pengetahuan reguler bagi anggota aktif. Sekolah ini dapat bermitra dengan Kementerian Dalam Negeri, BPKP, Bappenas, serta universitas lokal. Di samping itu, sertifikasi keahlian dalam perencanaan anggaran publik juga bisa menjadi standar kompetensi yang mendorong profesionalisme legislatif daerah dalam membuat keputusan fiskal.

Kedua, digitalisasi sistem pembahasan anggaran melalui platform e-budgeting harus diperluas secara menyeluruh. Platform ini tidak hanya mencatat dokumen perencanaan dan anggaran, tetapi juga memungkinkan fungsi interaktif seperti komentar publik, simulasi alokasi anggaran, serta pemantauan realisasi anggaran oleh masyarakat. Dengan sistem digital yang transparan, DPRD dapat menjalankan fungsi kontrol berbasis data serta mengurangi risiko lobi-lobi yang tidak tercatat secara administratif. Sistem ini juga dapat menjadi sarana pembelajaran publik mengenai struktur APBD dan logika pengalokasian dana daerah.

Ketiga, penguatan kelembagaan internal DPRD, terutama melalui optimalisasi peran Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) dan Badan Musyawarah (Bamus). Bapemperda berperan penting dalam menyusun dan mengharmonisasi Perda keuangan daerah, termasuk perda-perda turunan yang mengatur pola insentif, pengelolaan dana cadangan, dan penggunaan pendapatan asli daerah (PAD). Sementara itu, Bamus perlu dilibatkan secara aktif dalam penyusunan jadwal pembahasan APBD dan pengawasan terencana, sehingga seluruh fungsi legislatif bisa berjalan sesuai kalender politik dan teknis perencanaan tahunan.

Selain itu, penguatan fungsi DPRD dalam APBD juga akan sangat terbantu dengan kolaborasi strategis bersama lembaga pengawasan eksternal seperti BPK, BPKP, dan Ombudsman, agar hasil pengawasan tidak hanya reaktif, tetapi juga preventif. DPRD perlu didorong untuk menyusun agenda evaluasi tahunan atas pelaksanaan APBD, dan hasilnya harus dituangkan ke dalam bentuk kebijakan korektif di tahun berikutnya. Peran media dan LSM juga perlu diakomodasi dalam proses ini, melalui forum audiensi terbuka, diskusi tematik anggaran, dan publikasi evaluasi hasil pengawasan secara berkala.

Dengan rekomendasi-rekomendasi tersebut, DPRD tidak hanya akan lebih berdaya dalam menyusun dan mengawal APBD, tetapi juga akan menjadi aktor kunci dalam mewujudkan pemerintahan daerah yang transparan, akuntabel, dan berpihak pada kepentingan publik secara menyeluruh.

8. Rekomendasi Kebijakan

Dalam rangka memperkuat peran strategis DPRD dalam siklus pengelolaan keuangan daerah, terutama dalam hal penyusunan dan pengawasan APBD, diperlukan terobosan kebijakan yang progresif dan berbasis data. Salah satu rekomendasi penting adalah adopsi mekanisme participatory budgeting atau penganggaran partisipatif. Konsep ini memungkinkan masyarakat, melalui forum yang terstruktur dan inklusif, terlibat langsung dalam penentuan prioritas belanja daerah. DPRD sebagai representasi politik masyarakat memiliki tanggung jawab untuk membuka kanal komunikasi dua arah-tidak hanya mendengarkan aspirasi pada saat reses, tetapi juga memberikan ruang formal kepada warga untuk mengusulkan dan memutuskan kegiatan yang benar-benar menyentuh kebutuhan mereka. Implementasi participatory budgeting dapat dimulai secara bertahap di sektor-sektor strategis seperti infrastruktur desa, pendidikan dasar, atau pengembangan UMKM, dan selanjutnya dilembagakan dalam Peraturan Daerah.

Rekomendasi berikutnya adalah penetapan indikator kinerja legislasi anggaran DPRD sebagai alat ukur objektif terhadap pelaksanaan fungsi anggaran. Selama ini, pengawasan dan evaluasi terhadap peran DPRD cenderung normatif dan tidak terukur secara kuantitatif. Dengan menetapkan key performance indicators (KPI) seperti jumlah revisi substansial terhadap KUA-PPAS, tingkat keselarasan APBD dengan RPJMD, keterlibatan publik dalam proses penyusunan, serta rasio tindak lanjut dari hasil pengawasan, maka kinerja DPRD dapat diukur secara lebih transparan dan profesional. KPI ini dapat diintegrasikan dalam mekanisme evaluasi kelembagaan DPRD oleh Kementerian Dalam Negeri maupun Badan Pemeriksa Keuangan, sehingga menjadi bagian dari reformasi kelembagaan legislatif daerah yang terukur dan berkelanjutan.

Rekomendasi terakhir yang krusial adalah pengembangan kolaborasi lintas daerah melalui forum DPRD se-Indonesia. Forum ini dapat menjadi wadah pertukaran praktik baik (best practices), harmonisasi kebijakan legislasi keuangan, serta advokasi bersama terhadap kebijakan nasional yang berdampak pada fiskal daerah. Dalam era otonomi daerah yang kompleks, banyak kebijakan pusat yang belum selaras dengan kondisi nyata daerah. Melalui forum antar-DPRD, sinergi regional dapat diperkuat, terutama dalam isu strategis seperti pengelolaan Dana Desa, penanggulangan bencana lintas wilayah, serta pengembangan kawasan perbatasan. Forum ini juga bisa menjadi saluran pembelajaran kolektif antar-DPRD agar daerah yang sudah lebih maju dari sisi penganggaran digital, pengawasan berbasis data, atau keterbukaan informasi dapat menjadi rujukan konkret bagi daerah lainnya.

Dengan rekomendasi-rekomendasi kebijakan ini, DPRD diharapkan dapat memperluas peranannya dari sekadar aktor formal dalam legislasi anggaran menjadi motor penggerak demokrasi fiskal yang sehat, responsif, dan berpihak pada rakyat.

9. Kesimpulan

Dalam konteks tata kelola pemerintahan daerah yang demokratis dan desentralistik, keberadaan DPRD memainkan peran yang tidak dapat digantikan dalam memastikan arah dan isi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) benar-benar mencerminkan kebutuhan masyarakat. DPRD bukan hanya sebagai lembaga formal yang menyetujui anggaran, tetapi juga sebagai pengawal utama nilai-nilai akuntabilitas, efisiensi, dan keadilan dalam alokasi dana publik.

Melalui fungsi legislasi, DPRD berperan menyusun dan mengesahkan kebijakan anggaran bersama kepala daerah; melalui fungsi anggaran, DPRD menentukan skala prioritas pembangunan dan mengawal optimalisasi pendapatan daerah; sementara melalui fungsi pengawasan, DPRD memastikan bahwa pelaksanaan APBD sesuai dengan rencana, spesifikasi teknis, serta memberikan manfaat nyata bagi publik. Ketiga fungsi tersebut tidak dapat berjalan efektif tanpa dukungan kapasitas yang mumpuni, akses terhadap data yang terbuka, dan partisipasi aktif dari warga masyarakat.

Untuk memperkuat posisi DPRD dalam siklus APBD, perlu dilakukan langkah-langkah konkret seperti peningkatan kapasitas anggota melalui pelatihan teknis dan politik anggaran, digitalisasi proses perencanaan dan pengawasan melalui platform e-budgeting, serta perluasan partisipasi masyarakat melalui forum-forum konsultatif dan anggaran partisipatif. Tak kalah penting, kemitraan antara DPRD dengan media, lembaga akademik, dan lembaga pengawas eksternal juga harus dibangun untuk menciptakan budaya pengawasan yang inklusif dan berbasis data.

Dengan begitu, DPRD tidak hanya akan dilihat sebagai lembaga yang menjalankan fungsi kontrol administratif, melainkan sebagai pilar penting dalam membangun legitimasi kebijakan anggaran daerah. DPRD yang aktif, kompeten, dan terbuka akan menjadi kunci utama bagi terwujudnya pembangunan daerah yang berkeadilan, berkelanjutan, dan benar-benar menyentuh kebutuhan rakyat secara nyata. Dalam era desentralisasi fiskal, DPRD adalah penentu arah ke mana dan untuk siapa anggaran publik dikelola.