Bagaimana APBD Disusun? Yuk, Intip Prosesnya!

Pendahuluan: Mengapa Proses Penyusunan APBD Krusial

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah dasar pelaksanaan seluruh kegiatan pemerintahan daerah. Lewat APBD, pemerintah daerah menentukan alokasi dana untuk infrastruktur, pelayanan publik, pendidikan, kesehatan, dan program pemberdayaan masyarakat. Proses penyusunannya tidak sekadar angka-angka di atas kertas, tetapi mencerminkan visi-misi kepala daerah, aspirasi warga, dan kerangka prioritas jangka menengah hingga tahunan. Dengan memahami seluk-beluk tahapan penyusunan APBD, masyarakat dapat lebih aktif mengawal, memberikan masukan, atau bahkan mendorong inovasi dalam mekanisme perencanaan. Artikel ini akan membedah langkah demi langkah-dari inisiasi perencanaan hingga penetapan Perda APBD-dengan ulasan mendalam di setiap paragraf agar Anda memahami betul “mesin” anggaran daerah.

1. Landasan dan Kerangka Hukum Penyusunan APBD

Setiap tahapan penyusunan APBD dirujuk pada kerangka hukum yang jelas, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (yang terakhir diubah oleh UU No. 9/2015), UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, serta Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pedoman Penyusunan RKPD. Landasan ini memastikan semua pihak-eksekutif, legislatif, hingga pemangku kepentingan publik-menjalankan peran sesuai kewenangan. Tanpa payung hukum yang kokoh, potensi gesekan, tumpang tindih kewenangan, dan praktik manipulasi anggaran akan meningkat. Regulasi juga mengatur batas waktu penyusunan, mekanisme evaluasi, dan format dokumen yang harus disampaikan agar konsistensi antar daerah tetap terjaga.

2. Tahap Awal: Penyusunan Dokumen Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD)

Penyusunan APBD berawal dari RKPD, yang dirancang tiap triwulan ketiga tahun sebelumnya. RKPD memuat isu strategis, prioritas pembangunan, dan indikator kinerja tahunan, serta mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang berlaku lima tahun. Tim teknis pemerintah daerah-termasuk Bappeda, BPKAD, dan SKPD terkait-mengumpulkan data makro, potensi PAD, dan kebutuhan riil masyarakat. Musrenbang di tingkat desa/kelurahan hingga kecamatan menjadi forum penting untuk menyerap aspirasi konstituen. Dengan RKPD sebagai blueprint, TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah) dapat menyiapkan kerangka kebijakan umum APBD yang realistis dan berdasarkan bukti lapangan.

3. KUA-PPAS: Landasan Negosiasi Anggaran dengan DPRD

Setelah RKPD selesai, TAPD menyusun Kebijakan Umum APBD (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS). KUA memuat garis besar asumsi pendapatan, prioritas program, dan pagu indikatif per SKPD, sedangkan PPAS merinci plafon anggaran berdasarkan prioritas. Dokumen KUA-PPAS ini dibawa ke DPRD untuk dibahas dalam Badan Musyawarah (Bamus), Banggar (Badan Anggaran), dan Komisi-Komisi. Fase negosiasi di sinilah eksekutif dan legislatif “tukar pikiran” soal proporsi belanja, asumsi pendapatan, serta program yang dinilai paling mendesak. KUA-PPAS harus disepakati bersama sebelum melangkah ke tahap penyusunan Rancangan Perda APBD.

4. Peran Komisi-Komisi DPRD dalam Pembahasan

DPRD bekerja lewat alat kelengkapan: Komisi I mengawasi urusan pemerintahan, hukum, dan ASN; Komisi II berfokus pada ekonomi dan keuangan; Komisi III menangani kesejahteraan rakyat dan pembangunan infrastruktur. Setiap Komisi menelaah KUA-PPAS sesuai domainnya, memanggil SKPD, memverifikasi data rancangan, dan mengajukan penyesuaian jika ada kekeliruan asumsi atau ketidaksesuaian program dengan kebutuhan lapangan. Rapat-rapat teknis ini mendalam-membahas rencana output, indikator kinerja, hingga pembagian pagu anggaran antar wilayah. Hasil temuan Komisi kemudian diintegrasikan ke dalam laporan Banggar untuk disahkan dalam paripurna.

5. Rancangan Perda APBD: Penyusunan dan Sinkronisasi Dokumen

Berdasarkan kesepakatan KUA-PPAS, tim hukum dan keuangan daerah menyusun Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang APBD. Dokumen ini mencakup detail pendapatan daerah (PAD, transfer pusat, lain-lain), struktur belanja (operasi, modal, tak terduga, transfer), serta mekanisme pembiayaan. Selain angka, disertakan uraian program, sasaran, dan indikator kinerja SKPD. Sinkronisasi antar bagian dokumen-misalnya kesesuaian pagu belanja dengan indikator output-sangat penting untuk meminimalkan revisi. Dokumen Raperda APBD juga harus memenuhi format SIPD (Sistem Informasi Pemerintahan Daerah) agar dapat diunggah ke portal Kemendagri.

6. Pembahasan Teknis Raperda APBD di DPRD

Raperda APBD yang telah disusun dievaluasi kembali oleh DPRD melalui Banggar dan Komisi. Fase ini sering kali melibatkan rapat kerja berulang: memeriksa aspek legal, anggaran, dan teknis. DPRD berwenang mengusulkan amendemen-baik menambah program prioritas masyarakat, merasionalkan belanja operasional, ataupun menggeser pagu belanja publik. Jika terjadi perbedaan signifikan, pembahasan bisa molor hingga batas waktu yang diizinkan. Oleh karenanya, koordinasi intensif antara TAPD dan Sekretariat DPRD menjadi kunci agar draft Raperda selesai tepat waktu, menghindari sanksi administratif.

7. Penandatanganan Nota Kesepakatan dan Penyusunan Final Raperda

Setelah Raperda APBD direstui DPRD, pimpinan eksekutif dan legislatif menandatangani Nota Kesepakatan tentang APBD. Nota ini memuat ringkasan asumsi, prioritas program, dan alokasi anggaran pokok. Selanjutnya, tim redaksi menyempurnakan Raperda sesuai poin-poin kesepakatan, memperkuat justifikasi program, serta memastikan konsistensi antara dokumen teknis dan lampiran anggaran. Dokumen final ini lalu diajukan ke rapat paripurna untuk pengesahan menjadi Perda APBD.

8. Rapat Paripurna dan Pengesahan Perda APBD

Rapat paripurna DPRD adalah forum resmi untuk mengesahkan Raperda APBD menjadi Perda. Pimpinan DPRD memimpin jalannya sidang, membacakan laporan akhir Banggar, dan membuka sesi pemungutan suara. Pengesahan memerlukan minimal dukungan mayoritas anggota DPRD yang hadir. Setelah menerima persetujuan DPRD, kepala daerah menandatangani Perda APBD. Dokumen sah saat itu juga berlaku sebagai panduan belanja daerah, meski masih menunggu evaluasi gubernur atau Menteri Dalam Negeri.

9. Evaluasi Gubernur/Mendagri: Check and Balance

Perda APBD yang sudah ditandatangani dikirim ke gubernur (untuk provinsi) atau Menteri Dalam Negeri (untuk kabupaten/kota) dalam waktu 10 hari kerja. Pihak pusat memeriksa kesesuaian dengan kewenangan, kelayakan asumsi pendapatan, dan konsistensi dengan RPJMD. Bila ditemukan kekeliruan substansial-misalnya defisit berlebih, program tak sinkron, atau pelanggaran kewenangan-maka daerah harus merevisi Perda dalam batas waktu yang ditentukan. Mekanisme ini mencegah penyalahgunaan anggaran dan menjaga keselarasan kebijakan antara pusat dan daerah.

10. Implementasi APBD: RKA‐SKPD sebagai Panduan Operasional

Setelah Perda APBD final, setiap SKPD menyusun Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA‐SKPD). RKA memuat rincian kegiatan, output, indikator, jadwal pelaksanaan, dan sumber dana. Tahap verifikasi RKA oleh BPKAD dan Bappeda menjamin kesesuaian dengan pagu anggaran. SKPD kemudian melaksanakan program sesuai jadwal, mengajukan permintaan pencairan dana ke bendahara, dan mencatat realisasi ke SIPD. Disiplin administrasi di level SKPD memastikan akuntabilitas setiap rupiah yang digunakan.

11. Mekanisme Pembayaran dan Pertanggungjawaban Keuangan

Sistem pembayaran APBD menggunakan SKPD sebagai user dan Bendahara Pengeluaran Daerah sebagai pelaksana kas. Setiap pengajuan dana wajib disertai Surat Perintah Membayar (SPM) dan bukti pendukung (SPK, faktur, kuitansi). Keputusan Bendahara Lokal akan mencairkan dana sesuai prosedur. Pengeluaran dicatat dalam buku kas umum elektronik, lalu dilaporkan bulanan melalui Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD). Transaksi ini berulang hingga akhir tahun anggaran. Ketepatan prosedur pembayaran dan kecepatan penyusunan laporan pertanggungjawaban menjadi tolok ukur kualitas manajemen keuangan daerah.

12. Monitoring dan Evaluasi (Monev) Berkelanjutan

DPRD memonitor realisasi anggaran berkala melalui rapat kerja dengan SKPD, laporan triwulan, hingga Rapat Dengar Pendapat (RDP). Komisi-Komisi DPRD mengkaji capaian indikator kinerja program dan penyerapan anggaran. Bila terjadi deviasi signifikan-misalnya realisasi belanja modal di bawah target-DPRD memanggil pimpinan SKPD untuk klarifikasi. Inspektorat Daerah juga melakukan audit internal, sedangkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberi opini atas LKPD. Pemantauan berkelanjutan ini penting untuk mengidentifikasi hambatan, mempercepat perbaikan, serta mencegah pemborosan dan korupsi.

13. Laporan Keuangan dan LHP BPK

Setiap akhir tahun anggaran, pemerintah daerah menyusun Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). LKPD diaudit oleh BPK RI, yang menghasilkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dengan opini: Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), Wajar dengan Pengecualian (WDP), Tidak Wajar (TW), atau Disclaimer. Opini WTP menjadi kebanggaan daerah, mencerminkan tata kelola keuangan yang akuntabel. Jika opini di bawah WTP, daerah wajib menindaklanjuti temuan BPK dengan rekomendasi perbaikan, termasuk penyusunan action plan dan pelaporan ke DPRD.

14. Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Kepala Daerah

Kepala daerah wajib menyampaikan LKPJ setiap tahunnya kepada DPRD, paling lambat tiga bulan setelah tahun anggaran berakhir. LKPJ memuat capaian kinerja, realisasi anggaran, kendala pelaksanaan, dan langkah perbaikan. DPRD membahas LKPJ dalam rapat kerja, mendalami capaian indikator, dan mengeluarkan rekomendasi. Persetujuan LKPJ menunjukkan kepercayaan DPRD terhadap kinerja eksekutif; penolakan memicu pembentukan Pansus LKPJ atau hak interpelasi. LKPJ menutup siklus APBD dengan refleksi akuntabilitas politik dan administratif.

15. Peran Partisipasi Publik dalam Semua Tahap

Keterlibatan masyarakat bukan sekadar formalitas. Melalui musrenbang, forum warga, dan pengajuan aspirasi via aplikasi e-planning, konstituen dapat menyuarakan kebutuhan prioritas. Setelah APBD ditetapkan, data terbuka (open data) memudahkan publik memantau realisasi belanja. LSM dan media lokal juga berperan sebagai watchdog, mengawal implementasi dan menyoroti penyimpangan. Partisipasi aktif ini memperkaya proses perencanaan dengan perspektif grassroots dan meningkatkan akuntabilitas sosial.

16. Inovasi Digital: SIPD, e-Budgeting, dan Citizen Budgeting

Untuk meningkatkan efisiensi, Kemendagri mengembangkan SIPD sebagai one-stop portal perencanaan dan penganggaran. Banyak daerah juga menerapkan e-budgeting terintegrasi, memungkinkan simulasi real time alokasi anggaran dan dampak kebijakan. Beberapa kota maju pula menguji coba citizen budgeting-platform di mana warga memilih proyek prioritas melalui voting digital. Inovasi ini mendorong transparansi, mengurangi birokrasi kertas, dan mempercepat proses evaluasi.

17. Tantangan dan Peluang dalam Proses APBD

Meskipun prosedur terstruktur, praktik penyusunan APBD sering diwarnai tekanan politik, keterbatasan kapasitas teknis SKPD/DPRD, serta ketergantungan pada transfer pusat. Fenomena pork barrel dapat menggeser fokus anggaran dari kebutuhan mendesak warga. Namun, pelatihan berkelanjutan bagi pejabat dan anggota dewan, penerapan kode etik anggaran, serta adopsi teknologi informasi membuka peluang perbaikan. Kolaborasi dengan universitas dan think-tank juga dapat meningkatkan kualitas analisis kebijakan anggaran.

18. Studi Kasus Singkat: Region X Menyusun APBD Responsif Banjir

Sebagai contoh, di Region X yang rawan banjir, proses musrenbang mengedepankan usulan penanggulangan banjir-seperti normalisasi sungai dan embung. KUA-PPAS disusun dengan pagu anggaran khusus mitigasi bencana, meski awalnya pagu banyak teralokasi untuk proyek infrastruktur jalan. DPRD melalui Komisi III mendorong relokasi sebagian Belanja Modal ke program drainase. Konsekuensinya, APBD final mencerminkan kekayaan data lokal dan partisipasi publik; realisasi program terlihat signifikan menurunkan luapan banjir pada musim hujan berikutnya.

19. Sinergi Antara APBN dan APBD

Meski APBD fokus pada kebutuhan lokal, sinergi dengan APBN mutlak diperlukan. Misalnya, DAK Reguler digunakan untuk pelayanan dasar (sekolah, puskesmas), disertai Belanja Modal APBD untuk pembangunan ruang kelas tambahan atau perbaikan gedung kesehatan. Kolaborasi ini mengoptimalkan sumber daya pusat dan daerah, mempercepat pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) di tingkat lokal.

20. Rekomendasi untuk Masyarakat: Cara Mengawal Proses APBD

  • Ikuti Musrenbang dan Forum Publik: Datangi pertemuan di kelurahan/desa, sampaikan usulan dengan data konkret.
  • Akses Portal Open Data: Unduh dokumen RKPD, KUA-PPAS, dan APBD final di situs resmi.
  • Pantau Realisasi Anggaran: Cek laporan triwulan di website SIPD, laporkan ke Ombudsman bila ada kejanggalan.
  • Gunakan Hak Interpelasi: Dorong DPRD untuk memanggil eksekutif jika program tak berjalan sesuai rencana.
  • Dukung Inisiatif Digital: Promosikan penggunaan aplikasi e-planning di komunitas.

Penutup: Dari Rencana ke Eksekusi, Proses yang Terus Berulang

Penyusunan APBD adalah siklus dinamis yang mencakup perencanaan, negosiasi, pengesahan, implementasi, hingga evaluasi. Setiap tahap menuntut kolaborasi eksekutif-legislatif dan partisipasi aktif masyarakat. Dengan memahami proses ini secara mendalam, Anda dapat menjadi “mata dan telinga” publik yang mengawal penggunaan dana publik. APBD bukan sekadar dokumen teknis, melainkan refleksi komitmen bersama untuk membangun daerah yang lebih maju, adil, dan sejahtera.