APBD Bisa Gagal Terserap, Kok Bisa?

Pendahuluan: Fenomena APBD yang Kurang Maksimal

Setiap tahun, pemerintah daerah menyusun dan mengalokasikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk membiayai berbagai program pembangunan, pelayanan publik, dan pemberdayaan masyarakat. Idealnya, seluruh anggaran yang sudah disetujui dalam dokumen APBD akan terserap secara penuh melalui mekanisme belanja-baik belanja modal, belanja barang dan jasa, maupun belanja operasi. Namun kenyataannya di banyak daerah, realisasi serapan anggaran seringkali jauh di bawah target, bahkan ada yang hanya menyerap 60-70% dari pagu APBD. Situasi ini tidak hanya menimbulkan beban moral bagi kepala daerah yang gagal memaksimalkan anggaran, tetapi juga berimplikasi pada tertundanya program prioritas, menurunnya kepercayaan publik, dan potensi sanksi administrasi dari pemerintah pusat. Artikel ini akan membedah secara mendalam penyebab-penyebab kegagalan serapan APBD, mulai dari perencanaan yang lemah, kendala birokrasi, persoalan teknis, hingga faktor politik dan kultural yang berperan besar dalam dinamika pengelolaan keuangan daerah.

Kerangka Regulasi dan Mekanisme APBD

Sebelum menelaah penyebab kegagalan, penting memahami kerangka regulasi yang mengatur APBD. Berdasarkan Undang‑Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019, setiap daerah wajib menyusun rencana kerja pembangunan daerah (RKPD) yang selaras dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). RKPD menjadi dasar penyusunan KUA-PPAS (Kebijakan Umum APBD dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara) sebelum akhirnya disahkan menjadi APBD oleh DPRD. Setelah pengesahan, aplikasi SIPD (Sistem Informasi Pemerintahan Daerah) mencatat seluruh pagu anggaran. Penyerapan anggaran dilaksanakan melalui proses lelang, kontrak, pencairan dana, pelaksanaan kegiatan, dan penyerapan fisik serta keuangan. Setiap tahap diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Penyusunan APBD dan Perbendaharaan. Meskipun kerangka ini terlihat komprehensif, fleksibilitas regulasi terkadang menimbulkan celah interpretasi sehingga pelaksanaan di lapangan kerap menyimpang dari semangat efisiensi dan akuntabilitas.

Perencanaan Program yang Masih Sektoral dan Tidak Prioritas

Salah satu akar masalah rendahnya realisasi serapan APBD adalah perencanaan program yang belum terintegrasi lintas sektor dan seringkali terbebani kepentingan politik. Di tingkat daerah, unit kerja atau dinas cenderung menyusun usulan kegiatan berdasarkan porsi anggaran yang diharapkan, alih‑alih memprioritaskan kebutuhan riil masyarakat. Akibatnya, banyak program overlapping antar dinas yang sama‑sama mengalokasikan sumber daya untuk tujuan mirip-misalnya program pemberdayaan desa, pelatihan UMKM, dan pendampingan UKM yang dikerjakan oleh Dinas Koperasi, Dinas Sosial, dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa secara bersamaan. Kurangnya forum sinkronisasi di fase RKPD dan KUA‑PPAS membuat belanja daerah tetap sektoral. Akhirnya, kala pelaksanaan tiba, sebagian proyek ditunda atau dibatalkan karena tidak sesuai roadmap prioritas jangka menengah-sehingga penyerapan anggaran terhenti.

Birokrasi Lamban dan Ketergantungan pada Proses Manual

Birokrasi yang masih bergantung pada proses manual-baik dalam hal pengadaan, lelang, maupun pertanggungjawaban keuangan-menjadi kendala signifikan dalam percepatan serapan. Proses tender yang panjang, persyaratan administrasi fisik yang berlapis, dan verifikasi dokumen yang memakan waktu hingga berbulan-bulan menunda kontrak kerja dan pencairan dana. Di banyak daerah, lelang melalui LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik) masih diintegrasikan dengan dokumen hardcopy-mekanisme yang rawan tertahan di meja staf yang kekurangan tenaga administrasi. Selain itu, sanksi administratif untuk pelaksana yang terlambat menyetor laporan keuangan seringkali tidak diberlakukan, sehingga pelaku kegiatan tidak memiliki insentif kuat untuk mempercepat prosedur. Kombinasi birokrasi lamban dan kultur kearifan lokal yang cenderung mengedepankan musyawarah informal (rapat berkepanjangan) memperburuk kecepatan realisasi anggaran.

Kapasitas Sumber Daya Manusia dan Kompetensi Teknis

SDM di pemerintah daerah memiliki peran kunci dalam memastikan APBD terserap secara optimal. Namun, di lapangan masih banyak pegawai yang belum memahami aplikasi SIPD, e‑planning, e‑budgeting, dan modul pengadaan berbasis teknologi. Minimnya pelatihan intensif serta pergantian personel di tengah tahun anggaran menyebabkan hilangnya continuity knowledge, sehingga dokumen perencanaan tidak dapat diterjemahkan menjadi dokumen pelaksanaan yang benar. Selain itu, kompetensi pengelola keuangan-termasuk pemahaman standar akuntansi pemerintah terkini dan manajemen keuangan publik-masih bervariasi antar daerah. Ketiadaan pendampingan teknis dari pemerintah pusat atau perguruan tinggi menambah kesenjangan kemampuan. Akibatnya, kesalahan administrasi pendataan volume pekerjaan, dokumen pertanggungjawaban, hingga pemutakhiran data realisasi fisik dan keuangan sering terjadi, dan menjadi salah satu penyebab dana tidak bisa dicairkan lebih lanjut.

Sinkronisasi Antar Level Pemerintahan

APBD tidak berdiri sendiri; ia harus sinkron dengan APBN, RPJMN, hingga target SDGs dan visi pembangunan nasional. Namun di implementasi, kerap terjadi misalignment antara prioritas pusat dan daerah. Misalnya, pemerintah pusat mengarahkan dana untuk pembangunan infrastruktur zona industri, sementara pemerintah daerah lebih menitikberatkan pada program sosial keagamaan. Perbedaan arah kebijakan ini membuat evaluasi kemajuan menjadi rumit, karena indikator kinerja di daerah tidak sejalan dengan indikator nasional. Koordinasi antar level pemerintahan yang hanya terjadi saat penyusunan KUA-PPAS, tanpa forum sinkronisasi berkelanjutan, menyebabkan revisi RAPBD dan perubahan alokasi anggaran di tengah jalan. Keselarasan tujuan dan mekanisme monitoring yang sistematis perlu ditingkatkan agar APBD terserap sesuai rencana without losing alignment with national development goals.

Keterlibatan Politikal dan Kepentingan Ekonomi

Politik lokal biasanya mempengaruhi pola pengalokasian dan serapan APBD. Janji-janji kampanye kepala daerah saat Pilkada membuat beberapa program yang kurang prioritas menjadi digenjot penyalurannya, meski belum ada feasibility study yang memadai. Proyek “pencitraan” seperti pelantikan massal kader partai dan gedung pertemuan yang megah mungkin disetujui di DPRD demi menarik suara di pemilihan berikutnya. Namun, ketika waktu pelaksanaan terbatas, sumber daya terbagi, dan proses administrasi tertunda, realisasi anggaran program-program semacam ini justru molor atau gagal diserap. Selain itu, kepentingan ekonomi lokal-misalnya sinyalemen kontraktor tertentu yang memiliki pengaruh politik-dapat memblokir tender kompetitif, memunculkan potensi mark-up harga, serta memperlambat proses pengadaan.

Persoalan Pengadaan Barang dan Jasa

Pengadaan barang dan jasa menyumbang porsi besar dari APBD, sehingga setiap hambatan dalam prosesnya berpotensi besar memperlambat serapan. Di samping birokrasi lamban, sering terjadi ketidaksesuaian antara Rencana Umum Pengadaan (RUP) dan rencana pelaksanaan kegiatan di daerah. RUP yang disusun terlalu awal belum menyesuaikan dengan kondisi tahun berjalan-misalnya perubahan kebutuhan volumen kerja serta fluktuasi harga pasar-membuat paket pengadaan batal lelang atau harus direvisi. Permasalahan lain terletak pada pelaku usaha lokal yang belum familiar dengan e-procurement, sehingga kalah bersaing melawan perusahaan besar, menyebabkan pelelangan gagal banyak paket (zero bidder). Zero bidder memaksa pemerintah membuka ulang tender dengan uraian teknis yang lebih longgar, sehingga memakan waktu tambahan. Model kontrak yang kaku tanpa memperhitungkan variabel risiko, seperti ketidaksiapan lahan atau cuaca ekstrem, juga menunda eksekusi fisik dan kemudian pencairan dana.

Pengaruh Faktor Geografis dan Infrastruktur Daerah

Daerah dengan kondisi geografis ekstrem-pegunungan terjal, pulau-pulau terpencil, atau wilayah rawan bencana-mengalami tantangan logistik dan distribusi yang signifikan. Proses pengadaan dan distribusi material konstruksi di pedalaman atau wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) memakan waktu lebih panjang, biaya transportasi lebih tinggi, serta risiko kerusakan barang selama pengiriman. Akibatnya, proyek infrastruktur atau bantuan sosial di wilayah tersebut sering terhambat di gudang pusat karena prosedur pengiriman belum diselesaikan. Infrastruktur dasar seperti jalan rusak atau jaringan internet terbatas juga menambah kompleksitas, termasuk akses pada aplikasi e-procurement dan pelaporan realisasi. Pemerintah daerah perlu merumuskan skema paket lokal yang memperhitungkan karakteristik geografis dan potensi kolaborasi dengan swasta untuk efisiensi logistik.

Mekanisme Penyaluran Dana dan Cash Flow Management

Sistem penyaluran dana APBD melalui rekening kas umum daerah (RKUD) dan transfer via rekening kegiatan sering mengalami bottleneck. Beberapa daerah memberlakukan release order (SP2D) yang mencantolkan persetujuan berlapis dari OPD, BPKAD, dan BPK sebelum dana benar-benar cair ke rekening pelaksana. Prosedur validasi berkali-kali ini menjamin pengawasan, tapi memperpanjang waktu penyaluran. Sementara itu, pelaksana kegiatan yang membutuhkan cash flow berkelanjutan untuk membayar upah tenaga kerja dan membeli material terpaksa mengerem aktivitas fisik hingga dana tersedia. Di sisi lain, sisa plafond anggaran yang tidak terserap karena SP2D tertunda akan hangus di akhir tahun anggaran jika tidak segera dicairkan. Perbaikan workflow digital dan threshold otorisasi otomatis dapat mempercepat proses penyaluran dana tanpa mengurangi kontrol internal.

Monitoring, Pelaporan, dan Akuntabilitas

APBD yang efektif memerlukan sistem monitoring dan pelaporan real time. Namun, praktik di daerah masih kerap mengandalkan laporan triwulanan yang masuk terlambat, tidak komprehensif, dan sulit di-trace. Data realisasi fisik dan keuangan terpisah di aplikasi berbeda-termasuk SIPD, SAIBA, dan e-Monitoring-membuat analisis tren sulit dilakukan. Minimnya integrasi sistem informasi dan prosedur update manual mengundang human error. Audit internal dan eksternal (BPK) umumnya baru dilakukan setelah tutup buku, sehingga temuan masalah tidak dapat langsung diperbaiki di tahun berjalan. Untuk memperbaiki ini, daerah perlu menerapkan dashboard terintegrasi yang memuat KPI serapan anggaran, indikator output program, dan timeline milestone, sekaligus menetapkan sanksi serta penghargaan untuk unit yang melakukan update data tepat waktu.

Partisipasi Masyarakat dan Transparansi

Transparansi anggaran publik dapat meningkatkan akuntabilitas sekaligus partisipasi masyarakat dalam memantau program. Sayangnya, publikasi APBD dan realisasinya di portal resmi daerah masih minim detail: hanya angka agregat tanpa lampiran program dan lokasi kegiatan. Masyarakat, terutama kelompok tani, pelaku usaha mikro, dan LSM, hanya mengetahui capaian umum sehingga sulit memberikan masukan konstruktif. Transparansi yang terbatas juga mengurangi tekanan sosial bagi pemerintah daerah untuk menyelesaikan program tepat waktu. Penerapan participatory budgeting-di mana masyarakat dilibatkan dalam penyusunan prioritas pembangunan-dapat meningkatkan relevansi program di lapangan dan menekan program fiktif yang tak terserap. Platform digital crowd-sourcing informasi kegiatan dan laporan foto progress akan mempercepat teguran sosial jika ada penundaan.

Tantangan Kebijakan dan Regulasi yang Dinamis

Regulasi di sektor keuangan daerah sering kali diperbarui oleh pemerintah pusat dan kementerian terkait. Setiap perubahan Peraturan Menteri Dalam Negeri, Peraturan Menteri Keuangan, atau Surat Edaran Dirjen Perbendaharaan memaksa daerah merevisi dokumen perencanaan dan prosedur administrasi. Apabila sosialisasi regulasi baru tidak dilakukan cepat, aparatur keuangan daerah terjebak pada kebingungan interpretasi norma, sehingga tender tertunda dan proses belanja tertahan. Misalnya, aturan baru terkait BOK (Biaya Operasional Kesehatan) atau BOS (Bantuan Operasional Sekolah) terkadang menambahkan laporan atau kriteria baru. Perubahan mendadak tanpa jangka transisi memerlukan mekanisme fleksibel dan tim regulasi lokal yang aktif melakukan koordinasi lintas sektoral untuk mempercepat adaptasi.

Dampak Kegagalan Serapan: Biaya Ekonomi dan Sosial

Selain menunda manfaat langsung program pembangunan-seperti perbaikan jalan desa atau peningkatan layanan kesehatan-gagal terserapnya APBD membawa beban ekonomi: dana hangus berarti investasi yang hilang, dan pemerintah daerah harus mencari alternative financing di tahun berikutnya. Kredibilitas daerah tergerus di mata kreditur dan investor, mempersulit akses pinjaman program multi-tahun.

Secara sosial, ketidaktersediaan fasilitas publik yang terencana menimbulkan ketidakpuasan masyarakat, potensi protes, dan menurunkan trust in government. Acapkali, kegagalan serapan menimbulkan stigma pemborosan atau ketidakmampuan birokrasi-padahal akar masalahnya bisa kompleks administratif, teknis, maupun struktural. Kondisi ini perlu penanganan menyeluruh untuk mencegah spiral feedback negatif antara kinerja anggaran dan kepercayaan publik.

  1. Strategi Percepatan Serapan APBD Untuk mengatasi berbagai hambatan, pemerintah daerah dapat menerapkan strategi percepatan berikut:
  • Pemetaan Risiko dan Mitigasi: Identifikasi titik-titik rawan keterlambatan-misalnya kegiatan fisik di wilayah 3T, paket pengadaan besar, atau program baru-lalu rancang rencana mitigasi risiko, termasuk jadwal kontinjensi dan buffer anggaran.
  • Penyederhanaan Prosedur: Reduksi dokumen hardcopy dengan digitalisasi end-to-end, threshold otorisasi otomatis untuk SP2D di bawah nilai tertentu, serta penerapan e-signature untuk percepatan verifikasi.
  • Capacity Building Berkelanjutan: Pelatihan intensif pengelola keuangan, pendampingan teknis oleh BPKP atau universitas, dan sertifikasi kompetensi aparatur keuangan daerah.
  • Koordinasi Lintas Level Pemerintahan: Forum rutin antar daerah dan kementerian untuk sinkronisasi program, evaluasi triwulanan, dan penerbitan guideline adaptasi regulasi baru.
  • Transparansi dan Partisipasi: Portal realisasi anggaran yang user-friendly, open data API, dan mekanisme pengaduan publik untuk menyoroti proyek yang tertunda.

Inovasi dan Best Practice di Beberapa Daerah

Beberapa pemerintah daerah telah menerapkan inovasi yang berhasil mempercepat serapan APBD. Provinsi A menggunakan aplikasi mobile untuk verifikasi foto pekerjaan lapangan sebelum pencairan tahap berikutnya, meningkatkan validasi real time. Kabupaten B menerapkan skema reverse auction pada tender barang habis pakai, menurunkan harga 15% dan mempercepat proses pengadaan. Kota C memanfaatkan crowd-funding lokal untuk mendanai program pemberdayaan masyarakat, sehingga beban APBD terhadap program itu berkurang dan serapan anggaran menjadi lebih fleksibel. Kesuksesan ini didorong oleh komitmen kepala daerah, kolaborasi dengan sektor swasta, dan dorongan partisipasi warga. Daerah lain dapat belajar melalui study visit, workshop, dan publikasi laporan best practice yang difasilitasi KPK atau Kemendagri.

Kesimpulan dan Rekomendasi Jangka Panjang

Gagal terserapnya APBD bukan semata-mata persoalan administratif, melainkan cerminan kelemahan di berbagai tingkat manajemen, regulasi, budaya organisasi, dan politik lokal. Untuk memastikan seluruh anggaran manfaatnya dirasakan oleh masyarakat, perlu diambil langkah holistik: memperkuat perencanaan berbasis data, menyederhanakan birokrasi melalui digitalisasi, meningkatkan kapasitas SDM, serta membangun ekosistem transparansi dan partisipasi publik. Jangka panjang, pemerintah daerah disarankan merancang roadmap integrasi SIPD dengan sistem ERP (Enterprise Resource Planning) pemerintah pusat, menetapkan skema insentif-punishment berbasis kinerja, dan merangkul teknologi blockchain untuk audit trail pengadaan. Dengan strategi terencana dan kolaborasi multisektoral, serapan APBD dapat dimaksimalkan, membawa manfaat nyata bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.