Pengadaan barang dan jasa pemerintah merupakan tulang punggung penyelenggaraan layanan publik. Namun saat krisis-bencana alam, pandemi, atau kegawatan ekonomi-proses ini sering dihadapkan pada dua kekuatan tarik: prosedur formal yang ketat dan kepentingan nyata untuk cepat merespons kebutuhan mendesak. Artikel ini mengulas secara mendalam bagaimana merancang, menjalankan, dan menyeimbangkan pengadaan darurat agar tetap akuntabel namun responsif, meliputi dasar hukum, tahapan, tantangan, studi kasus, dan praktik terbaik.
1. Pengertian dan Ruang Lingkup Pengadaan Darurat
Pengadaan Darurat adalah salah satu bentuk pengadaan pemerintah yang dilaksanakan secara cepat dan sederhana guna merespons situasi luar biasa. Situasi ini muncul ketika prosedur reguler-yang membutuhkan waktu panjang dan proses formal yang kompleks-tidak dapat menjawab urgensi kondisi di lapangan. Oleh karena itu, fleksibilitas dan kecepatan menjadi kunci dalam pengadaan darurat.
Karakteristik Utama Pengadaan Darurat
- Keterbatasan Waktu
Dalam keadaan krisis, kebutuhan muncul secara tiba-tiba dan harus dipenuhi secepatnya. Misalnya, saat terjadi gempa bumi, pengadaan tenda darurat, air bersih, atau logistik harus dilakukan dalam waktu kurang dari 48 jam. Prosedur tender reguler yang membutuhkan waktu berminggu-minggu jelas tidak relevan. Di sinilah peran pengadaan darurat sebagai solusi yang cepat dan responsif. - Kondisi Krisis
Pengadaan darurat dilakukan dalam situasi yang telah dinyatakan sebagai keadaan darurat oleh otoritas berwenang. Contohnya:- Bencana Alam: Gempa bumi, banjir, letusan gunung berapi.
- Darurat Kesehatan: Wabah menular seperti COVID-19.
- Kondisi Sosial/Politik: Kerusuhan, konflik horizontal.
- Force Majeure: Pemadaman jaringan, gangguan distribusi logistik nasional.
- Volume Terbatas dan Spesifik
Pengadaan darurat biasanya menyasar kebutuhan yang bersifat temporer dan tidak berskala besar. Fokus utamanya adalah penyediaan barang atau jasa yang benar-benar dibutuhkan dalam masa krisis. Contoh:- Barang habis pakai: Alat pelindung diri (APD), logistik pengungsi.
- Jasa: Konsultan mitigasi bencana, petugas evakuasi.
- Konstruksi ringan: Jembatan darurat, tanggul sementara.
- Fleksibilitas Teknis
Spesifikasi teknis tidak harus sedetail pengadaan biasa, selama tidak mengurangi fungsi dan efektivitasnya. Ini bertujuan mempercepat evaluasi dan eksekusi di lapangan.
Ruang Lingkup Praktis
Ruang lingkup pengadaan darurat mencakup berbagai sektor, antara lain:
- Kesehatan: Pengadaan masker, vaksin, ambulans, dan alat deteksi cepat.
- Infrastruktur: Perbaikan jembatan darurat, distribusi logistik via heli.
- Sosial: Pengadaan dapur umum, air bersih, dan kebutuhan dasar pengungsi.
- Teknologi Informasi: Pemulihan server atau sistem informasi pasca-gangguan siber.
Pengadaan ini seringkali dilakukan tanpa mekanisme pengadaan elektronik (e-procurement), tetapi dokumentasi tetap menjadi syarat mutlak untuk menjaga akuntabilitas.
2. Dasar Hukum dan Kebijakan
Agar tidak menimbulkan celah hukum atau penyalahgunaan, pengadaan darurat diatur secara tegas dalam berbagai regulasi nasional. Berikut penjelasan rinci dasar hukumnya:
2.1. Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Peraturan ini menjadi landasan utama seluruh praktik pengadaan di instansi pemerintah. Dalam konteks pengadaan darurat:
- Pasal 107 s.d. 109 secara eksplisit mengatur tata cara dan kondisi pelaksanaan pengadaan barang/jasa dalam keadaan darurat.
- Metode yang diizinkan adalah:
- Penunjukan langsung: Untuk penyedia yang memiliki kompetensi dan mampu memenuhi kebutuhan cepat.
- Pengadaan langsung: Bila nilai pengadaan berada dalam batas tertentu.
- Tender darurat: Dengan waktu pelaksanaan dipersingkat dan persyaratan dokumen disederhanakan.
Catatan penting: Tidak semua pengadaan yang mengklaim “darurat” boleh langsung diproses secara khusus. Harus ada justifikasi kebutuhan darurat serta pernyataan resmi dari pihak berwenang (misalnya kepala daerah, BNPB, atau lembaga sejenis).
2.2. Peraturan LKPP No. 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan dalam Keadaan Darurat
Regulasi turunan ini memberikan panduan lebih teknis dan praktis untuk pelaksanaan pengadaan dalam situasi darurat. Beberapa ketentuan penting di dalamnya:
- Kriteria situasi darurat dijabarkan lebih konkret (contoh: gempa ≥6 SR, banjir yang menenggelamkan >3 kecamatan).
- Tugas dan wewenang PPK dijelaskan secara rinci, termasuk tata cara menetapkan penyedia dan menyusun kontrak darurat.
- Pelaporan: PPK wajib menyampaikan laporan kegiatan dan pertanggungjawaban ke atasan langsung, inspektorat internal, dan LKPP.
- Audit pasca kegiatan: Kegiatan ini akan diaudit untuk memastikan penggunaan anggaran sesuai tujuan dan bebas dari kecurangan.
2.3. Prinsip-Prinsip Pengadaan yang Harus Tetap Dipegang
Meskipun pengadaan darurat bersifat cepat dan fleksibel, tidak berarti bebas dari prinsip dasar pengadaan. Prinsip-prinsip tersebut tetap berlaku:
a) Transparansi
Semua tahapan harus terdokumentasi, termasuk alasan darurat, pemilihan penyedia, harga satuan, dan bentuk kontrak. Pengumuman hasil pengadaan tetap dilakukan (minimal internal), serta terbuka terhadap audit publik.
b) Akuntabilitas
Pihak-pihak yang terlibat, terutama Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), bertanggung jawab penuh terhadap keputusan dan anggaran. PPK harus menyimpan semua dokumen pendukung, seperti surat darurat, kronologi kejadian, dan bukti komunikasi.
c) Efisiensi dan Efektivitas
Pengadaan harus tetap berorientasi pada pemenuhan kebutuhan nyata, bukan sekadar belanja. Tidak diperbolehkan membeli barang/jasa berlebih, atau yang tidak mendesak.
d) Persaingan Sehat (jika dimungkinkan)
Jika waktu memungkinkan, minimal 2-3 penyedia sebaiknya dibandingkan, meski secara cepat dan informal. Tujuannya agar harga tetap terkendali dan tidak terjadi mark-up berlebihan.
e) Keseimbangan Kepentingan
Prinsip ini menekankan perlunya menjaga niat baik untuk menyelamatkan nyawa dan layanan publik, sekaligus memastikan anggaran tidak disalahgunakan. Kepentingan masyarakat luas tetap harus menjadi landasan moral dalam setiap keputusan pengadaan darurat.
3. Prosedur Pengadaan Darurat
Pengadaan darurat tidak hanya soal kecepatan, tapi juga ketepatan dan tanggung jawab. Prosedur yang dirancang oleh regulasi Indonesia bertujuan memberikan fleksibilitas dalam pengambilan keputusan, kesederhanaan dalam eksekusi, namun tetap menjaga akuntabilitas publik.
3.1 Identifikasi Kebutuhan Mendesak
Langkah awal dalam pengadaan darurat adalah verifikasi situasi darurat dan perumusan kebutuhan yang benar-benar kritis. Proses ini dilakukan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) atau tim tanggap darurat yang ditunjuk.
- Verifikasi Lapangan: Bisa berupa laporan resmi dari BNPB, BPBD, atau instansi teknis yang mengalami kerusakan aset.
- Dokumen Pendukung: Termasuk kronologi kejadian, peta lokasi terdampak, jumlah korban atau kerusakan, serta kebutuhan mendesak yang belum terpenuhi.
- Rencana Kebutuhan Teknis (Technical Specification) disusun secara sederhana namun tetap fungsional. Misalnya: “tenda kapasitas 10 orang tahan hujan” sudah cukup sebagai spesifikasi awal dalam kondisi darurat.
Setelah kebutuhan dikunci, PPK dapat menerbitkan Surat Perintah Kerja (SPK) atau Surat Tugas yang menjadi dasar formal dimulainya proses pengadaan.
3.2 Metode Pengadaan Darurat
Metode pengadaan darurat dibedakan berdasarkan tingkat urgensi, ketersediaan waktu, dan jumlah penyedia yang relevan di lokasi. Dua pendekatan utama adalah:
A. Tender Darurat
Digunakan jika waktu memungkinkan untuk proses seleksi cepat dan masih terdapat pilihan penyedia.
- Pengumuman Terbatas: Biasanya melalui aplikasi e-procurement, WA group penyedia lokal, atau surat undangan langsung.
- Evaluasi Disederhanakan: Hanya mencakup dua aspek:
- Harga wajar, berdasarkan harga pasar terkini.
- Kemampuan kirim cepat, termasuk kepemilikan stok atau sumber daya distribusi.
- Keputusan Cepat: Tidak ada sanggahan; hasil ditetapkan oleh PPK atau panitia kecil yang dibentuk ad hoc.
Tender darurat cocok untuk pengadaan seperti makanan siap saji, masker, selimut, genset, atau pompa air-yang bisa disuplai oleh lebih dari satu vendor.
B. Penunjukan Langsung
Dilakukan bila kondisi ekstrem membuat prosedur seleksi tak mungkin dilaksanakan, misalnya:
- Hanya ada satu penyedia lokal yang memiliki stok atau akses ke wilayah terdampak.
- Waktu sangat sempit, seperti ketika jembatan harus segera dipasang untuk evakuasi dalam 24 jam.
Batasan Nilai mengikuti ketentuan LKPP dan kebijakan instansi:
- Pemerintah daerah: misalnya maksimal Rp200 juta per paket (bisa berbeda di tiap peraturan teknis daerah).
- Pemerintah pusat: mengikuti nilai maksimal penunjukan langsung sebagaimana diatur dalam Perpres.
Meski lebih cepat, PPK tetap wajib menyusun justifikasi tertulis mengapa metode ini digunakan, agar tidak dianggap penyalahgunaan wewenang.
3.3 Evaluasi dan Negosiasi
Meski dalam keadaan darurat, penyedia tetap harus dievaluasi secara cepat namun terukur.
- Evaluasi Teknis: Memastikan barang/jasa sesuai kebutuhan minimum. Jika menyediakan jasa, maka tenaga kerja, alat, dan metode pelaksanaan ditinjau secara cepat.
- Harga Wajar: PPK atau pejabat teknis melakukan benchmarking terhadap:
- Harga toko lokal
- E-katalog (jika ada)
- Harga pengadaan serupa tahun lalu
- Negosiasi Singkat: Dilakukan langsung, dengan pencatatan tertulis dalam notulen sederhana. Poin negosiasi biasanya mencakup harga satuan, waktu pengiriman, dan sistem pembayaran.
Catatan penting: Tidak diperkenankan menetapkan harga seenaknya hanya karena situasi darurat. Penyedia yang menaikkan harga secara tidak wajar dapat dimasukkan ke daftar hitam.
3.4 Kontrak dan Pelaksanaan
Setelah penyedia ditetapkan, tahap selanjutnya adalah penyusunan dan penandatanganan kontrak yang bersifat khusus.
- Durasi Kontrak: Biasanya 1-3 bulan, cukup untuk pemenuhan kebutuhan segera. Untuk bencana besar, kontrak dapat diperpanjang sesuai perkembangan situasi.
- Klausul Force Majeure Diperluas: Kontrak darurat biasanya mencantumkan ketentuan khusus mengenai kegagalan suplai karena bencana susulan, akses jalan putus, atau gangguan logistik.
- Uang Muka (Advance Payment):
- Dapat diberikan hingga 50% dari nilai kontrak.
- Wajib disertai jaminan bank (surat jaminan sederhana).
- PPK dapat meminta bukti penggunaan uang muka seperti faktur pembelian atau surat jalan.
3.5 Pelaporan dan Audit
Pengadaan darurat tetap harus melalui pelaporan dan pertanggungjawaban formal, meskipun tidak sekompleks pengadaan biasa.
- Laporan Realisasi harus memuat:
- Kronologi kejadian
- Rencana kebutuhan vs realisasi barang/jasa
- Daftar penyedia dan nilai kontrak
- Bukti foto, nota, dan tanda terima
- Target Pelaporan: Disampaikan ke:
- LKPP (via SIRUP atau kanal darurat)
- Inspektorat atau APIP
- BPK atau BPKP, bila nilai signifikan
- Audit Internal dan Eksternal:
- Wajib dilakukan dalam waktu maksimal 30 hari setelah kegiatan berakhir.
- Fokus pada kecepatan, akurasi kebutuhan, serta kewajaran harga dan kualitas barang.
Audit bukan untuk mencari kesalahan administratif kecil, melainkan memastikan niat baik, urgensi riil, dan pertanggungjawaban publik terjaga.
4. Kepentingan Nyata di Lapangan
Prosedur pengadaan darurat bukan sekadar teknis administratif, tetapi menyangkut respon nyata terhadap kebutuhan mendesak masyarakat. Dalam berbagai kejadian, fleksibilitas pengadaan darurat menjadi penentu antara kelumpuhan sistem dan keberlanjutan layanan publik. Berikut ini ilustrasi nyata bagaimana pengadaan darurat menjadi krusial.
4.1 Respons Cepat terhadap Kebutuhan Medis
Salah satu studi kasus paling relevan adalah saat pandemi COVID-19, ketika rumah sakit di seluruh Indonesia menghadapi kekurangan alat pelindung diri (APD), ventilator, masker N95, obat antivirus, dan tabung oksigen. Dalam kondisi normal:
- Lelang terbuka membutuhkan waktu 8-12 minggu, termasuk proses sanggah.
- Evaluasi dokumen administrasi dan teknis cenderung sangat birokratis.
Namun dalam situasi darurat, jam dan hari menjadi sangat berharga. Maka, pemerintah pusat dan daerah memanfaatkan skema pengadaan darurat untuk:
- Membeli langsung ke distributor atau produsen, bahkan lintas negara.
- Menerapkan harga referensi fleksibel, mengingat permintaan global melonjak.
- Merevisi spesifikasi barang, misalnya mengganti APD medis sekali pakai menjadi APD kain yang disterilkan ulang.
Tantangan muncul dalam bentuk risiko markup harga, barang tidak sesuai spesifikasi, hingga penyedia fiktif. Meski demikian, secara keseluruhan, pengadaan darurat memungkinkan sistem layanan kesehatan tetap berjalan-dan menyelamatkan nyawa.
4.2 Pemulihan Infrastruktur Pasca-Bencana
Bencana alam seperti banjir, longsor, gempa bumi, dan kebakaran sering merusak jembatan desa, akses jalan utama, hingga jaringan air bersih dan listrik. Bila pengadaan infrastruktur dibiarkan mengikuti jalur normal:
- Warga bisa terisolasi selama berbulan-bulan.
- Arus logistik bantuan terhambat.
- Aktivitas ekonomi lokal lumpuh.
Dengan prosedur darurat:
- Pemerintah bisa segera mengontrak kontraktor lokal yang memiliki alat berat di lokasi.
- Spesifikasi tidak perlu menunggu desain detail: cukup desain sementara yang fungsional.
- Pembayaran dilakukan dengan sistem uang muka progresif, sehingga kontraktor tetap bisa bekerja meski likuiditas terbatas.
Contoh konkret: perbaikan jembatan gantung di Lombok pasca gempa pada 2018-dalam dua minggu sudah dapat difungsikan berkat mekanisme penunjukan langsung darurat.
4.3 Keamanan dan Ketahanan Energi
Stabilitas energi adalah sektor vital, apalagi di daerah terpencil atau terdampak kerusuhan. Pengadaan darurat di sektor ini berkaitan dengan:
- Distribusi BBM dan LPG ke wilayah yang jalurnya terganggu.
- Sewa tangki sementara atau kontainer solar untuk rumah sakit dan puskesmas.
- Mobilisasi kapal tanker darurat saat dermaga rusak akibat bencana.
Tanpa intervensi cepat, kelangkaan akan memicu:
- Panic buying dan penimbunan.
- Kepanikan publik dan konflik sosial.
- Gangguan terhadap layanan esensial seperti ambulans, logistik pangan, atau pendingin vaksin.
Dengan pengadaan darurat, pemerintah dapat melampaui prosedur perizinan normal dan langsung menunjuk penyedia yang memiliki armada atau stok, bahkan dengan sistem pembayaran di tempat (cash on delivery) bila perlu.
5. Ketegangan Prosedur vs. Kepentingan Nyata
Dalam praktiknya, pengadaan darurat sering berada dalam medan tarik-menarik antara tuntutan teknis prosedural dan urgensi kebutuhan nyata di lapangan. Ketegangan ini perlu dipahami agar tidak terjadi pembelokan fungsi atau penyalahgunaan wewenang atas nama “darurat”.
5.1 Kecepatan vs. Kepatuhan
Tantangan:
- Prosedur pengadaan darurat menuntut kecepatan tinggi. Dalam banyak kasus, barang harus tiba dalam 2-3 hari, bukan minggu.
- Di sisi lain, regulasi tetap menuntut verifikasi dokumen penyedia, bukti kemampuan teknis, dan tanda tangan kontrak resmi.
Risiko:
- Bila kecepatan lebih diutamakan: rawan muncul data fiktif, penyedia abal-abal, atau barang palsu.
- Bila kepatuhan terlalu diketatkan: proses terhambat, nyawa bisa terancam, dan publik bisa kehilangan kepercayaan pada pemerintah.
Solusi:
- Pemerintah perlu memiliki daftar penyedia tanggap darurat (emergency vendor list) yang sudah terverifikasi.
- SOP pengadaan darurat harus mencantumkan toleransi dokumen sementara, disusul kelengkapan pascakrisis.
5.2 Transparansi vs. Kerahasiaan Operasional
Tantangan:
- Dalam prinsip good governance, semua pengadaan harus transparan: diumumkan, bisa diakses publik, dan dipertanggungjawabkan.
- Namun dalam kondisi darurat, terutama yang terkait keamanan nasional atau operasi kemanusiaan, transparansi berlebihan justru membuka celah risiko.
Contoh:
- Lokasi pengadaan APD untuk petugas medis di daerah konflik perlu dirahasiakan agar tidak disabotase.
- Informasi stok vaksin darurat bisa digunakan untuk menimbun atau spekulasi politik.
Solusi:
- Lakukan transparansi pascakegiatan (ex-post transparency), bukan saat proses berlangsung.
- Gunakan mekanisme audit tertutup, seperti pemeriksaan khusus oleh APIP dan BPK/BPKP dengan NDA (non-disclosure agreement).
5.3 Persaingan Terbatas vs. Efisiensi Biaya
Tantangan:
- Semangat pengadaan adalah menjaring sebanyak mungkin penyedia agar persaingan menghasilkan harga terbaik.
- Tapi dalam darurat, membuka tender ke banyak penyedia bisa membuang waktu, bahkan tidak semua bisa menanggapi cepat.
Risiko:
- Penunjukan langsung ke satu penyedia berpotensi menimbulkan kecurigaan dan tuduhan kolusi, apalagi bila harga tidak sesuai pasar.
- Mengundang terlalu banyak penyedia bisa menghasilkan kelelahan administratif dan kebingungan logistik.
Solusi:
- Tetapkan batas minimal 3 penyedia (jika memungkinkan) sebagai prinsip persaingan sehat.
- Gunakan pembanding harga dari e-katalog, marketplace, atau toko lokal, bukan hanya dari penawaran penyedia.
6. Studi Kasus
Untuk memahami dinamika pengadaan darurat di lapangan, berikut ini dua studi kasus yang relevan, mewakili dua tipe krisis berbeda: krisis kesehatan global dan bencana alam lokal.
6.1 Pengadaan APD COVID-19 di Jakarta (2020)
Latar Belakang: Ketika gelombang awal pandemi COVID-19 melanda Jakarta pada Maret 2020, rumah sakit rujukan kekurangan Alat Pelindung Diri (APD), masker N95, sarung tangan medis, dan hazmat suit. Situasi ini tergolong emergency grade A karena menyangkut keselamatan tenaga medis.
Tindakan Cepat:
- Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggunakan mekanisme penunjukan langsung kepada penyedia lokal yang mampu memenuhi kebutuhan dalam waktu maksimal 3 hari.
- Tidak dilakukan tender terbuka karena urgensi waktu dan terbatasnya penyedia yang memiliki stok.
Dampak Positif:
- Distribusi APD ke rumah sakit utama bisa dimulai dalam 72 jam setelah permintaan pertama.
- Penyedia lokal terdorong untuk meningkatkan kapasitas produksi jangka pendek.
Tantangan yang Muncul:
- Harga pembelian melonjak 2-3 kali lipat dari harga normal sebelum pandemi.
- Beberapa produk tidak sesuai spesifikasi teknis medis (contoh: coverall non-medis digunakan sebagai hazmat).
Langkah Korektif:
- Audit internal LKPP dan BPK merekomendasikan penetapan harga maksimum (cap price) untuk pengadaan tahap berikutnya.
- Pemerintah membuat e-katalog darurat COVID-19 dengan harga referensi dan penyedia tersertifikasi.
6.2 Rekonstruksi Jalan di Lombok Pasca-Gempa (2018)
Latar Belakang: Gempa bumi besar yang mengguncang Lombok pada Agustus 2018 merusak ratusan kilometer jalan desa dan akses logistik utama. Jika tidak segera diperbaiki, distribusi bantuan dan pemulihan ekonomi warga akan terhambat.
Tindakan Cepat:
- Pemerintah daerah NTB menggunakan skema tender darurat dengan proses sederhana.
- Lima kontraktor lokal diundang secara langsung dan diberikan waktu 3 hari untuk menyerahkan penawaran.
Keunggulan Strategis:
- Kontraktor lokal sudah mengenal medan, tidak butuh waktu mobilisasi alat berat.
- Proyek rekonstruksi selesai dalam 14 hari dan akses desa-desa kembali pulih.
Pengendalian Harga:
- Harga satuan pekerjaan dibandingkan dengan Rencana Umum Pengadaan (RUP) sebelum gempa.
- Tim teknis melakukan survei cepat ke toko bahan bangunan dan pemilik alat berat untuk menentukan harga pasar real-time.
Efek Jangka Panjang:
- Meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah daerah.
- Kontraktor lokal memperoleh pengalaman manajemen proyek berbasis darurat, yang kemudian diakui dalam tender nasional.
7. Praktik Terbaik dan Rekomendasi
Untuk memperbaiki kualitas pengadaan darurat, berikut ini rangkaian praktik terbaik (best practices) dan rekomendasi kebijakan yang bisa diterapkan oleh pemerintah daerah maupun pusat.
7.1 Pra-registrasi Penyedia Darurat
Tujuan: Menyiapkan daftar penyedia yang sudah melalui seleksi sebelumnya dan siap dikontak dalam situasi krisis.
Langkah Praktis:
- LKPP dan ULP/UKPBJ membuat daftar penyedia darurat, lengkap dengan:
- Legalitas dan NPWP aktif
- Daftar stok minimum
- Kemampuan pengiriman cepat
- Verifikasi berkala dilakukan setiap 6 bulan.
Manfaat:
- Menghindari risiko penyedia fiktif.
- Mempercepat pemrosesan penunjukan langsung.
- Mengurangi ketergantungan pada penyedia luar daerah.
7.2 Sistem e‑Procurement Khusus Darurat
Gagasan: Mengembangkan modul darurat pada sistem e-procurement (seperti SPSE), yang lebih fleksibel dari sisi dokumen dan validasi.
Ciri-ciri:
- Dokumen teknis minimalis: cukup spesifikasi fungsi dan harga satuan.
- Validasi pasca-factum: audit dan klarifikasi dilakukan setelah kontrak berjalan.
- Fitur unggah cepat untuk SPK dan notulen negosiasi darurat.
Manfaat:
- Menjaga dokumentasi tetap tercatat tanpa membebani proses.
- Memungkinkan PPK bekerja dengan alat bantu resmi meski dalam tekanan waktu.
7.3 Cap Price dan Benchmark Harga
Tujuan: Menekan risiko mark-up harga saat situasi krisis yang penuh ketidakpastian.
Rekomendasi:
- Gunakan data e-katalog darurat, harga e-commerce, dan survei pasar sebagai referensi.
- Tetapkan harga maksimum (cap price) untuk barang strategis: APD, BBM, sembako, obat, dan jasa konstruksi ringan.
Contoh Praktik:
- Kemenkes saat pandemi menetapkan harga maksimum masker dan ventilator.
- Bappenas mendorong pemanfaatan dashboard harga digital untuk semua daerah.
7.4 Pelatihan PPK dan APIP Secara Berkala
Kenapa Penting: Banyak PPK dan auditor internal tidak terbiasa dengan alur pengadaan darurat, sehingga cenderung ragu atau justru melakukan over-comply yang memperlambat tindakan.
Solusi:
- Lakukan simulasi pengadaan darurat minimal 1 tahun sekali di tiap daerah.
- Bangun modul pelatihan e-learning LKPP khusus topik: “Manajemen Risiko dan Etika Pengadaan Darurat”.
- Libatkan APIP dalam workshop bersama PPK, agar standar audit dan ekspektasi dokumentasi bisa sinkron.
7.5 Koordinasi Multistakeholder
Tantangan yang Dihadapi: Pengadaan darurat rentan dipolitisasi atau dicurigai publik karena proses yang tidak seperti biasanya.
Langkah Solutif:
- Libatkan LSM antikorupsi, akademisi, dan jurnalis ekonomi lokal dalam pengawasan berbasis data terbuka.
- Publikasikan secara berkala dashboard ringkas pengadaan darurat di website resmi pemerintah: item, nilai, waktu kontrak, nama penyedia.
Hasil Positif:
- Meningkatkan trust publik bahwa pengadaan darurat memang dilakukan dengan dasar kebutuhan, bukan kepentingan tersembunyi.
- Menjadi acuan akuntabilitas di kemudian hari bila muncul audit BPK atau investigasi khusus.
8. Kesimpulan
Pengadaan darurat saat krisis menuntut keseimbangan antara kecepatan merespons kebutuhan nyata dan kepatuhan terhadap standar akuntabilitas. Dengan memperkuat prosedur-melalui pra-registrasi penyedia, e‑procurement khusus, cap price, serta pelatihan rutin-pemerintah dapat meminimalkan risiko korupsi dan pemborosan, sambil tetap menjaga kelangsungan layanan publik kritikal. Dalam dunia yang penuh ketidakpastian, kemampuan beradaptasi cepat dengan prosedur pengadaan darurat yang matang menjadi fondasi ketahanan nasional.